Anomali KPK, Dipaksa Bertekuk Lutut Dihadapan Politik Hukum

LENSAISH.COM – Keberadaan kelembagaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam sistem ketatanegaraan Indonesia memperlihatkan sebuah anomali.

Di satu sisi, desain sistem kekuasaan yang dibentuk telah melahirkan praktik-praktik korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan.

Tapi, di sisi lain, keberadaan KPK sebagai instrumen yang berupaya mencegah dan menindak penyalahgunaan kekuasaan tersebut justru sedang diarak menuju lembah kehancuran.

Sistem kekuasaan yang korup ini dibuktikan dalam berbagai pengukuran tingkat korupsi yang selalu menempatkan Indonesia dan lembaga-lembaga politik utama dalam sistem kekuasaan sebagai sebuah sistem yang korup.

Anomali ini bermula ketika Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan Putusan Nomor 36/PUU-XV/2017 mengenai hak angket terhadap KPK.

Baca juga:

Dalam pertimbangan hukumnya, Mahkamah menyatakan fungsi KPK dalam hal penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan sangat jelas mengindikasikan keberadaannya sebagai lembaga yang berada di bawah ranah eksekutif sebagaimana halnya kepolisian dan kejaksaan.

Padahal, jika ditelusuri dalam putusan MK sebelumnya, yakni Putusan Nomor 12-16-19/PUU-IV/2006, sangat jelas MK menyatakan bahwa “pembentukan lembaga seperti KPK dapat dianggap penting secara konstitusional dan termasuk lembaga yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksudkan oleh Pasal 24 Ayat (3) UUD 1945”.

Baca Juga  Novel Baswedan Cs Laporkan 5 Pimpinan KPK ke Dewas, Novel: Ini Suatu Keperihatinan

Kekuatan terbesar KPK sebenarnya adalah ketika ia dipisahkan dari sistem.

Menempatkannya sebagai “badan khusus” dalam penegakan rule of law mungkin telah dinilai sebagai ancaman langsung terhadap penyalahgunaan kekuasaan oleh kelompok lapisan atas masyarakat Indonesia (Winters, 2021).

Putusan MK yang anomali ini kemudian mengilhami pembentukan undang-undang yang menggerogoti kelembagaan KPK.

Baca juga:

Dengan begitu, sangat sulit untuk berharap jika pengujian terhadap Undang-Undang KPK akan menghasilkan sesuatu yang memperkuat kelembagaan KPK.

Hasilnya dapat dibaca dengan sangat jelas dalam tujuh putusan atas pengujian Undang-Undang KPK oleh Mahkamah Konstitusi pada 4 Mei 2021.

Secara formal, tidak ada satu pun putusan yang dikabulkan MK mengenai praktik legislasi yang dinilai tidak terbuka dan tidak melibatkan peran serta masyarakat.

Secara umum, seluruh desain kelembagaan KPK yang diatur dalam Undang-Undang KPK dinilai oleh Mahkamah sebagai hal yang konstitusional.

Keberadaan “lembaga baru” dalam tubuh KPK, yakni Dewan Pengawas, tetap dinilai konstitusional, walaupun ada beberapa perubahan yang bersifat formalitas, seperti pemberitahuan soal penghentian penyidikan dan penuntutan perkara.

Dalam putusannya, Mahkamah secara umum menafsirkan bahwa informasi penghentian perkara disampaikan kepada Dewan Pengawas dalam jangka waktu tertentu (14 hari) sejak penghentian perkara ditetapkan.

Baca Juga  Aksi Solidaritas untuk Palestina, Buruh Semarang Gelar Aksi

Baca juga:

Adapun soal penggeledahan dan penyitaan memang terdapat pengurangan kewenangan karena izin tertulis Dewan Pengawas tidak lagi dibutuhkan, tapi informasi mengenai penggeledahan dan penyitaan tersebut tetap diberitahukan kepada Dewan.

Selain dari aspek struktur kelembagaan, perubahan fungsi KPK, khususnya dalam hal penghentian perkara, diterima oleh MK.

Mahkamah berasumsi bahwa ada fakta empiris mengenai banyak perkara yang pelakunya telah ditetapkan sebagai tersangka tapi tak kunjung diajukan ke pengadilan.

Dalam hal ini, MK secara sembrono kemudian menyebutkan bahwa kondisi ini menimbulkan ketidakpastian hukum.

Ada beberapa alasan untuk menyebutkan bahwa Mahkamah keliru dalam putusannya.

Putusan Nomor 60/PUU-VIII/2010 MK secara jelas dan tegas menyebutkan bahwa kewenangan penghentian perkara merupakan sumber penyalahgunaan wewenang oleh penegak hukum, sehingga kewenangan ini tidak diberikan kepada KPK.

Baca juga:

Namun, dalam Putusan Nomor 70/PUU-XVII/2019, MK tiba-tiba hanya menggunakan dasar “kepastian hukum” sebagai alasan untuk memberikan kewenangan penghentian perkara kepada KPK.

Perkara potensi penyalahgunaan kekuasaan tiba-tiba hilang. Mahkamah sama sekali tidak mendalami alasan mengapa ada tunggakan perkara di KPK dan, lebih buruk lagi, menggunakannya sebagai asumsi dalam membuat putusan.

Baca Juga  Dua Peristiwa Dibalik Pendirian Negara Israel

Ada pilihan moderat yang sebetulnya bisa diambil oleh Mahkamah dengan tetap konsisten pada putusan sebelumnya, yakni memberikan batas waktu bagi KPK dalam setiap tahapan penyidikan atau penuntutan, bukan justru memberikan pilihan untuk menghentikan perkara.

Membatasi waktu tersebut tentu akan lebih rasional dan memberikan arahan yang lebih jelas bagi KPK ketika akan memulai penyidikan dan penuntutan.

Selain itu, pilihan untuk menghentikan perkara melalui proses pra-peradilan telah diputus oleh Mahkamah melalui Putusan Nomor 21/PUU-XII/2014 yang memperluas obyek pra-peradilan, yang salah satunya soal penetapan tersangka.

Baca juga:

Putusan Mahkamah Konstitusi soal pengujian Undang-Undang KPK sesungguhnya telah memperlemah kelembagaan KPK.

Dulu, perubahan terhadap Undang-Undang KPK selalu kandas dalam politik legislasi nasional karena Mahkamah menempatkan KPK sebagai lembaga yang memiliki constitutional importance dengan segala kelebihannya.

Ketika Mahkamah menganggap KPK sebagai bagian dari rumpun kekuasaan eksekutif, di situlah KPK akhirnya dipaksa bertekuk lutut di hadapan politik hukum yang tak lagi ramah terhadap pemberantasan korupsi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *