LENSAISH.COM – Secara umum, seseorang yang belajar agama dan menetap di suatu padepokan atau pesantren disebut sebagai santri. Namun, apakah mereka yang belajar agama tanpa menetap di pesantren tidak bisa dikategorikan sebagai santri? Pemahaman seperti ini tidak sepenuhnya benar.
Di era saat ini, banyak orang yang menimba ilmu agama kepada para ahli (Kyai, Ustadz/Ustadzah) tanpa menetap di pesantren.
Ada yang melakukannya karena keinginan pribadi untuk memperdalam pengetahuan agama, ada juga yang diarahkan oleh orang tuanya, atau bahkan sebagai bagian dari sistem sekolah, seperti di MI, MTs, maupun MA.
Lantas, apa yang membuat seseorang bisa dikatakan sebagai santri?
1. Niat Belajar Agama
Niat adalah dasar terpenting untuk mencapai suatu tujuan. Ketika niat belajar agama sudah kuat, alam bawah sadar akan menggerakkan tubuh untuk mewujudkannya. Tangan akan rajin menulis, mata mencari tontonan yang menambah wawasan, dan telinga mendengar nasihat yang menguatkan keimanan.
2. Mempunyai Sanad Keilmuan
Ilmu yang diperoleh tanpa memiliki guru yang jelas tidak akan sempurna. Kejelasan seorang guru bisa dilihat dari interaksi langsung dan izin yang diberikan untuk menjadi santrinya. Ini penting agar jika ada pemahaman yang keliru, seorang santri bisa diarahkan ke jalan yang benar. Belajar secara mandiri tanpa guru berisiko besar.
3. Istiqomah dalam Belajar
Tidak perlu menguasai banyak ilmu untuk semangat. Belajar adalah proses yang tidak ada habisnya sampai kita berpulang. Pengetahuan akan terus berkembang seiring bertambahnya pengalaman. Jangan pernah merasa cukup dengan ilmu yang ada, tetaplah haus akan pengetahuan.
4. Mengimplementasikan Ajaran Agama
Mencari ilmu tanpa mengamalkannya adalah hal yang sia-sia. Jangan hanya berfokus mencari kebenaran, tetapi renungkan juga ilmu yang sudah didapat.Implementasikan setiap pelajaran yang dapat dilaksanakan, dan jangan ragu meninggalkan hal yang bertentangan dengan ajaran agama.
5. Mengikuti Tradisi Pesantren
Tradisi pesantren bukan hanya bisa dilakukan di pesantren. Anda dapat menerapkannya di lingkungan sekitar, seperti dalam lingkup pertemanan, di musala, di organisasi, dan di mana saja. Tradisi seperti membaca Al-Qur’an, sholawatan, membawa asma’ul husna, dan lain sebagainya bisa dijalankan tanpa harus mondok di pesantren.
Jadi, menjadi santri bukan hanya tentang tinggal di pesantren. Siapa pun bisa disebut sebagai santri jika sikap dan tindakannya mencerminkan pribadi seorang santri. Apa gunanya disebut santri jika perilakunya justru bertentangan dengan ajaran yang seharusnya dipegang?