LENSAISH.COM – Setelah sebulan penuh menjalani ibadah puasa di bulan Ramadhan, umat Islam kini tengah bersuka cita merayakan Idul Fitri.
Meski pandemi Covid-19 melanda Indonesia dan berdampak pada tradisi lebaran, tapi esensi dari Idul Fitri sebagai momen saling memaafkan tak pernah luntur.
Salah satu tradisi yang lekat dengan perayaan Idul Fitri adalah halal bihalal, yaitu momen untuk berkumpul bersama keluarga besar atau teman semasa sekolah.
Meski berasal dari bahasa Arab, orang Arab sendiri tidak akan mengerti makna esensi dari halal bihalal, karena tradisi tersebut hanya ada di Indonesia.
Adalah KH Wahab Chasbullah, tokoh Nahdlatul Ulama (NU) pencetus terminologi halal bihalal.
Baca Juga:
Berawal dari gejala disintegrasi bangsa yang semakin memanas pada 1948 dan aksi pemberontakan DI/TII di Jawa Barat dan PKI di Madiun yang mengakibatkan banyak korban berjatuhan sehingga membuat Presiden Soekarno memikirkan cara untuk menyelasikan masalah tersebut.
Apalagi elite politik yang banyak diharapkan justru saling bertengkar dan tak mau duduk bersama mencari solusi.
Awal Mula
Pada pertengahan Ramadhan, Bung Karno kemudian memanggil KH Wahab Chasbullah untuk meminta pendapat.
KH Wahab pun menyarankan Bung Karno untuk menggelar acara silaturahim di antara elite politik dengan memanfaatkan momentum Idul Fitri.
Meski sepakat dengan usulan itu, tapi Bung Karno merasa kurang setuju dengan penggunaan kata silaturahim untuk mendinginkan suhu politik saat itu.
Menurutnya, istilah itu terlalu biasa dan harus dicari istilah lain agar pertemuan itu jadi momentum dan mengena bagi para elite yang hadir.
Baca Juga:
KH Wahab Chasbullah kemudian menjelaskan sebuah alur pemikiran yang menjadi kunci pada penemuan istilah ‘halal bihalal’.
Diawali dengan penjelasan situasi para elite politik yang saling serang dan menyalahkan satu sama lain, KH Wahab menjelaskan hukum dalam Islam.
Ia menyebut bahwa saling menyalahkan adalah dosa. Di sisi lain, dosa memiliki hukum haram.
Agar elite politik terlepas dari dosa (haram), maka di antara mereka harus dihalalkan. Caranya, mereka harus duduk satu meja, berbicara satu sama lain, saling memaafkan, dan saling menghalalkan.
KH Wahab menyebutnya dengan ‘Thalabu halal bi thariqin halal’, maksudnya adalah mencari penyelesaian masalah atau keharmonisan hubungan dengan cara memaafkan kesalahan.
Bung Karno pun menerima baik usulan itu. Saat Idul Fitri tiba, ia mengundang seluruh tokoh politik ke Istana untuk mengikuti acara halal bihalal.
Baca Juga:
Alur pemikiran itu kemudian membawa KH Wahab pada sebuah istilah yang hingga saat ini dikenal luas di Indonesia, yaitu halal bihalal.
Untuk pertama kalinya sejak perbedaan pendapat di antara mereka muncul, para elite politik yang berbeda-beda itu duduk di satu meja dan momen tersebut dinilai babak baru menyusun kekuatan dan persatuan bangsa.
Sejak saat itu, acara tatap muka, berbincang-bincang serta saling bersalam-salaman tersebut diikuti oleh instansi pemerintah maupun masyarakat luas hingga saat ini.
- Penulis: Muhammad Fikri Ainul Hana