oleh

Hari Santri, Apa yang Diperingati?

LENSAISH.COM – Santri ialah ikonik masyarakat, sebab anggapan baik pada kemampuannya di bidang agama. Hal ini yang kemudian menjadi beban tersendiri bagi santri yang pah-poh seperti saya. Masyarakat tidak peduli, apakah santri yang mereka anggap baik itu ketika di pondok patuh pada peraturan atau langganan kena takziran (hukuman).

Selama mereka pernah mengenyam pendidikan di pesantren alias nyantri, maka santri akan dianggap mahir dalam segala hal, terutama dalam unggah-ungguh (akhlak), tutur kata dan pada pengetahuannya di bidang agama. Ketiga hal yang saya sebutkan ini seolah dijadikan pandangan yang paten, sehingga mau tidak mau santri dituntut mampu dalam melakukan segala sesuatu.

Nah, kemudian ketika tiba hari santri nasional, apa yang harusnya diperingati oleh santri?

Menurut saya, ada beberapa hal penting yang perlu diingat dan terus dikembangkan oleh santri.

  1. Mengaji (Mengasah Pengetahuan)

Santri yang sedang (liburan) atau sudah (alumni) di rumah, bukan berarti mereka benar-benar meninggalkan rutinitas yang sudah menjadi kebiasannya, yaitu mengaji. Santri dan mengaji adalah dua hal yang identik dan tak terpisahkan, sehingga akan terasa sangat rumpang apabila santri jauh dari aktivitas positif ini.

Baca Juga  Ketika KH Hasyim Asy’ari Bergegas Mengumpulkan Para Santri

Baca juga:

Tak hanya Al-Qur’an dan kitab kuning, santri juga bisa mengaji atau mengasah pengetahuan melalui buku-buku bacaan, seminar, atau bahkan belajar dari sekitar. Santri harus bisa menyesuaikan diri, dimanapun santri itu berada. Santri yang terus mengasah ilmunya, takkan pernah khawatir dimanapun posisinya.

Santri mengerti kapan menjadi anak, murid, teman, atau bahkan jika ada yang menganggapnya sebagai guru, ia harus siap memposisikan diri sebagai guru. Santri yang sudah sadar akan posisinya, ia akan terus berusaha mengembangkan segala ilmu yang pernah didapat dari pesantren.

  1. Meningkatkan Sikap Ta’dzim (menghormati) dan Tawadlu’ (rendah hati) pada Guru

Salah satu akhlak yang disorot pada diri santri yaitu sikap ta’dzim dan tawadlu’nya. Bentuk ta’dzim dan tawadlu’ terhadap guru bisa berupa doa, melanjutkan perjuangannya (menyebarkan ilmu/mengajar), bisa juga dengan menjaga marwahnya melalui perilaku yang baik.

Baca Juga  Buat Kamu yang Masih Insecure Bacaan Latin, Coba Baca Ini

Baca juga:

Mendoakan guru merupakan bentuk terimakasih santri atas segala ilmu yang telah diberikan. Sebagaimana anak pada orang tuanya, seorang santri juga takkan pernah mampu membalas segala doa, sabar, serta kasih sayang gurunya.

Oleh karena itu, santri akan terus dituntut atas sikap, tata krama, atau perilaku baiknya. Sebab tata krama, tutur kata dan ilmu agama seolah sudah melekat dan menjadi gelar tersendiri bagi santri. Maka kemudian wajib bagi santri untuk menjaga dan terus meningkatkan ketiga hal tersebut.

  1. Kenangan Ketika di Pesantren

Dimanapun kita melakukan aktivitas, akan selalu ada peristiwa yang bisa diceritakan dan biasa kita sebut sebagai pengalaman. Termasuk di Pesantren, tempat yang dianggap seram bagi sebagian orang awam sebab peraturannya yang ketat, jam ngajinya yang padat dan ciri khas hafalannya yang melekat.

Bagi sebagian yang lain, pesantren ialah penjara suci yang menenangkan dengan segala damai yang disuguhkan melalui ibadah-ibadah yang menjanjikan kedekatan antara hamba dan Tuhan.

Baca Juga  Bedah Buku Literasi Digital Santri Milenial, Penulis: Santri Harus Menjadi Pemain Bukan Hanya Penonton

Baca juga:

Ada pula yang berpendapat bahwa pesantren adalah tempat mengasah soft-skill agar besok ketika menjalani hidup bermasyarakat tidak kagetan.

Di pesantren, bukan hanya agama yang menjadi topik bahasan, namun juga bagaimana kita dilatih untuk bisa berbicara di depan umum, diajari bagaimana cara berbagi, bagaimana menghadapi orang dengan berbagai karakter, bagaimana cara mengelola jadwal, memasak, hingga bagaimana cara menjaga kebersihan diri juga lingkungan, dimana santri biasa menyebutnya ro’an (kerja bakti).

Santri masih tetap bisa merasa bahagia, meski harus tetap mengikuti setiap kegiatan yang menjadi peraturan pesantren. Maka, saya sebut beruntung orang yang telah rela mengorbankan waktu dan mengesampingkan rindu demi ilmu. Tak peduli seberapapun lelahnya, jika Tuhan meridhai maka semua akan terasa mudah dan penuh berkah.

  • Penulis: Afifatun Ni’mah

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *