LENSAISH.COM, TUNISIA – Dalam rangkaian acara Hari Santri, Kedutaan Besar Republik Indonesia di Tunis (KBRI Tunis) mengadakan Kuliah Umum bersama Prof. Dr. Muhammadd Haddad bertajuk “Islam dan Masa Kini” pada Selasa (22/10/2024) waktu setempat.
Duta Besar Republik Indonesia (Dubes RI) untuk Tunisia, KH. Zuhairi Misrawi, membuka acara dengan mengenalkan Muhammad Haddad, seorang pemikir besar Tunisia yang pemikirannya patut kita contoh. Ia juga menyampaikan bahwa tema kuliah umum ini akan membedah karya fenomenal Muhammad Haddad yang berjudul الإِسْلَامُ وَالْعَصْرُ الحَدِيْث (Islam dan Masa Kini).
“Dia (Muhammad Haddad) adalah sosok pemikir besar. Seyogyanya, bagi para sarjana Timur Tengah, mampu memahami dan meniru bagaimana cara dia berfikir. Karena sejatinya seseorang yang hendak menjadi pemikir besar harus mencontoh bagaimana para pemikir sebelumnya berfikir”, tutur Dubes RI untuk Tunisia tersebut penuh antusias.
Sementara Muhammad Haddad juga memuji ketekunan dan kecerdasan KH. Zuhairi Misrawi. Beliau mengatakan bahwa KH. Zuhairi Misrawi merupakan seorang politikus yang terkenal dan gemar membaca. Bahkan menurut Haddad, KH. Zuhairi Misrawi mampu melahap penuh isi buku yang ia baca.
“Pada dasarnya saya sudah tau bahwa dia (KH. Zuhairi Misrawi) merupakan seseorang yang getol membaca buku. Bahkan mungkin dia memakan (baca: hafal) seluruh buku yang sudah dia baca”, terang Haddad.
Menurut Muhammad Haddad, Indonesia adalah teladan keberagaman dan kerukunan Islam. Adanya dua pilar umat Islam di Indonesia (Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah), dapat menjadi opsi pilihan masyarakat Indonesia. Mereka bisa memilih wadah untuk mengembangkan pengetahuan keislamannya serta memutuskan undang-undang mana yang akan mereka jalankan sebagai pengantar menuju kebenaran.
Agama yang beliau yakini merupakan mekanisme alam yang akan tetap ada sebelum adanya segala hal. Beliau memunculkan sebuah pertanyaan tentang bagaimana cara beragama dan mengembangkan pemahaman agama agar sesuai dengan kebutuhan zaman.
“Apa yang menjadi problem agama sekarang, terjadi di dunia Arab, seperti peperangan, pendudukan, negara ideologi islam, sebenarnya hanya menjadi problem di negara Arab. Sedangkan di Indonesia, Islam tidak ada peperangan, Islam tidak menguasai ideologi negara dan tidak ingin membuat negara Islam sendiri. Karena itu, sejatinya diskusi ini (tentang kitab ini) hanya untuk orang-orang Arab. Karena ini problem kami (Bangsa Arab), bukan problem kalian (umat Islam Indonesia)”, gurau Muhammad Haddad.
Selama hampir satu jam, penyampaian materi Muhammad Haddad cukup menghidupkan diskusi, meski terkadang pendapatnya kontroversi. Di akhir penyampaian, Haddad mengingatkan bahwa Islam merupakan agama yang senantiasa memberikan solusi atas setiap problematika umat. Solusi tersebut meliputi penyelesaian atas problem sosial, politik, maupun problem berat lainnya. Bahkan, Islam memberikan jalan dan solusi atas hal paling kecil/remeh sekalipun.
Lebih jauh, Haddad memaknai etika sebagaimana keyakinan Immanuel Kant. Etika merupakan ilmu yang mempelajari norma-norma yang mengatur tingkah laku manusia berkaitan dengan apa yang baik, benar dan tepat. Hal itu sudah ada sejak undang-undang Islam turun. Klasifikasi bab yang ada dalam karya-karya ulama klasik menunjukkan bahwa Islam betul-betul memperhatikan bagaimana agar kehidupan bisa berjalan sesuai dengan norma-norma sosial yang ada.
Rumusan aturan dalam Islam memang norma yang tetap, namun tak menutup ruang penafsiran baru. Dalam implementasinya, penerapan undang-undang Islam terus sejalan dengan karakter sosial dan kebutuhan masyarakat secara umum.
Muhammad Haddad mengajak hadirin agar bersyukur memiliki Duta Besar yang peduli akan pendidikan dan rajin menyebarkan pengetahuan Islam melalui langkah diplomasi. Saling lontar pujian antara KH. Zuhairi Misrawi dan Muhammad Haddad menunjukkan kedekatan kedua tokoh cendekiawan muslim itu. Keduanya sama-sama aktif dalam perkembangan keilmuan keislaman, aktif membuka cakrawala pengetahuan mahasiswa dan berani mengungkap kebenaran.
Meski kedua tokoh itu terkesan bebas dan ‘nyeleneh’ saat membahas tentang agama, tetapi peran dan pemikiran keduanya menyadarkan akan luasnya teori-teori yang ada di luar Islam. Hal itu dapat kita korelasikan dengan kebutuhan kita hari ini, misalnya memadukan teori para filsuf Katolik, komunis, bahkan ateis dengan keilmuan Islam. Sebab, ilmu bukan bergantung pada siapa pemilik pemikiran baru itu, tapi bagaimana kemanfaatan pemikiran itu.
Sebagai mahasiswa generasi modern, sangat mudah bagi kita mengakses buku-buku dan membaca berbagai pemikiran tokoh dari klasik sampai modern. Pemikiran-pemikiran tersebut seharusnya kita kolaborasikan serta tak semata memandang siapa yang berteori, tetapi memandang manfaat teori itu. Apalah gunanya pemikiran yang datang dari kalangan muslim jika ternyata tidak berpihak pada muslim sendiri. Fakta ini sudah banyak terjadi di tengah pergulatan politik zaman sekarang.
Kuliah umum berlangsung sangat seru berkat materi dari pemikir besar yang luwes dan tajam analisisnya seperti Muhammad Haddad. Kuliah umum berakhir dengan sesi diskusi antara Muhammad Haddad dan mahasiswa Indonesia di Tunisia. Diskusi semakin seru ketika Muhammad Haddad menjawab berbagai pertanyaan dengan percikan gurauan. Inilah yang membuat fokus mahasiswa Indonesia teralihkan karena tertarik dengan ide-ide cemerlang Muhammad Haddad.
Kegiatan ini bertujuan memotivasi mahasiswa Indonesia agar semakin semangat dan giat menimba ilmu di Tunisia. Sebab, selain terkenal sebagai Negara Hijau, Tunisia juga telah melahirkan banyak tokoh pemikir besar yang karya-karya patut kita baca. (LA/RM/JL)