Hujan di Tengah Diskusi

LENSAISH.COM – Di sebuah kedai kopi kecil di pinggir Jakarta, suasana hangat mendominasi meskipun hujan deras turun di luar. Kedai itu menjadi tempat berkumpul berbagai kalangan; dari mahasiswa, pekerja kantoran, hingga aktivis politik yang tak lelah berdiskusi. Malam itu, tiga orang duduk melingkar di meja kayu kecil, membicarakan satu topik yang tak pernah habis: politik Indonesia.

“Menurutku, semua ini hanya permainan elite,” ujar Ardi, seorang jurnalis muda dengan nada tajam. “Lihat saja, isu yang dilempar ke publik hanya untuk mengalihkan perhatian. Isu korupsi besar, kebijakan yang menindas rakyat kecil, lenyap begitu saja di bawah headline soal politik identitas,” tambahnya.

Laras, seorang mahasiswa hukum, menyandarkan tubuhnya ke kursi, “Tapi politik identitas itu juga nyata. Kita nggak bisa mengabaikan bahwa ada yang sengaja mengadu domba rakyat untuk kepentingan mereka,” sahutnya.

Baca Juga  Perangkat Desa Jetis Kapuan Bekali Ilmu Sosial Kepada Tim KKN IK IAIN Kudus

“Ya, tapi bukankah itu justru alat?” timpal Ardi. “Alat untuk membungkam kritik, alat untuk memecah belah, supaya mereka tetap nyaman di kursinya.”

Doni, seorang aktivis sosial, mengangkat tangan, mencoba meredakan suasana. “Kalian berdua benar. Tapi masalahnya lebih besar. Sistemnya rusak. Siapa pun yang masuk ke dalamnya, mau idealis sekalipun, bisa terjebak. Seperti masuk ke rawa-rawa.”

Hening sesaat. Di luar, suara hujan menghantam atap seng kedai. “Kalau begitu, apa kita cuma bisa jadi penonton?” tanya Laras bersemangat. “Rakyat sepertinya sudah terlalu lelah. Demonstrasi besar-besaran tahun lalu saja hanya menghasilkan janji-janji yang nggak jelas.”

Ardi menghela napas panjang. “Itu yang bikin aku frustrasi. Sebagai jurnalis, aku sering berpikir, apa gunanya menulis kalau suara kita nggak pernah sampai ke mereka?” Doni menatap kedua temannya dengan serius. “Tapi bukan berarti kita berhenti mencoba. Perubahan nggak terjadi dalam satu malam, Ardi dan Laras, rakyat memang lelah, tapi lelah bukan berarti menyerah. Ada banyak gerakan kecil yang tumbuh di bawah radar. Mereka nggak besar, tapi nyata. Dan itu cukup untuk jadi harapan.” Laras tersenyum tipis. “Jadi, kita tetap bicara, ya? Tetap menulis, tetap bergerak?”

Baca Juga  Adaptif, PB PMII Luncurkan Situs PMII.ID

Ardi mengangguk. “Ya. Karena kalau kita diam, mereka menang.” Suara hujan perlahan mereda. Di kedai itu, obrolan terus berlanjut, menembus malam. Politik Indonesia hari ini mungkin rumit, penuh intrik dan kekecewaan, tapi selama ada mereka yang tak lelah berbicara, menulis, dan bergerak, harapan tetap ada.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *