LENSAISH.COM – Jika kita berkaca ke sejarah Kejawen, semestinya ungkapan Kejawen yang ditujukan kepada agama selain Islam merupakan ungkapan yang tidak tepat.
Karena Kejawen terlahir dari ajaran yang disebarluaskan oleh Wali Sanga di pulau Jawa.
Kejawen merupakan ajaran Islam tasawuf yang berbalut Jawa Buddha.
Adapun ajaran yang pernah tumbuh di tanah Jawa dapat dibagi dalam tiga kategori besar:
- Jawadipa
Merupakan ajaran asli masyarakat Jawa yang dikenal pada dekade 1960 sebelum tergeser oleh istilah Kapitayan yang populer pada dekade 1980 - Jawa Buddha
Merupakan ajaran agama Siwa yang sudah bercampur dengan ajaran agama Buddha Mahayana atau Tatrayana (Wajrayana) dan ajaran Jawadipa - Ajaran Islam tasawuf yang disebut Kejawen.
Baca juga:
Pada kisaran abad ke-19, Kejawen sendiri pernah mendapat klaim sebagai aliran di luar Islam oleh kelompok Islam yang berorientasi kepada Fikih.
Penganut Kejawen lantas mengucilkan diri dan diberi stigma negatif oleh mereka. Mereka kemudian melakukan perlawanan dan mencoba memisahkan diri dengan tidak mengakui bahwa mereka adalah bagian dari Islam.
Kepercayaan mereka yang masih mempercayai ajaran-ajaran leluhur seperti mengagungkan pustaka atau roh jelas tidak sesuai dengan pemahaman kelompok Islam Fikih.
Berbagai macam wacana bermunculan ketika penganut Kejawen mulai memutuskan untuk memisahkan diri.
Banyak yang beranggapan bahwa Kejawen adalah ajaran asli masyarakat Jawa. Padahal sebenarnya, Kejawen terlahir dari rahim Islam Tasawuf yang didakwahkan oleh Wali Sanga.
Baca juga:
Sebelum munculnya gerakan dakwah Wali Sanga, di tanah Jawa sudah banyak ulama yang menyebarkan ajaran Islam. Sebut saja Syaikh Samsuddin al-Wasil yang mengembangkan ajaran Islam di daerah Kediri pada abad ke-12.
Namun cara penyampaian dari Syekh Samsuddin tentu saja berbeda dengan Wali Sanga, karena memang beliau datang dari Negeri Ngerum/Rum (Persia).
Sedangkan prinsip dasar penyebaran Islam ala Wali Sanga berpegang teguh dengan “al-Muhafazhah ‘ala al-Qadim as-Shalih wa al-Akhdu bi al-Jadid al-Ashlah”.
Unsur-unsur budaya lokal yang beragam dan dianggap sesuai dengan sendi-sendi tauhid diserap ke dalam dakwah Islam.
Dan Mauidloh al-Hasanah wa Mujadalah bi al-llati hiya Ahsan, yaitu penyampaian ajaran agama Islam melalui cara dan tutur bahasa yang baik.
Maka dari itu, penyampaian dakwah Wali Sanga yang menekankan Islam Tasawuf dan perpaduannya dengan budaya lokal membuat Islam dapat diterima dengan mudah di Tanah Jawa.
Usaha-usaha yang bersifat asimilatif dan sinkretik dalam dakwah Islam ala Wali Songo, secara teoritik maupun faktual dapat disimpulkan sangat sulit dilakukan oleh mubaligh-mubaligh penyebar dakwah Islam dari golongan saudagar maupun Ulama fiqih dengan bermacam-macam mazhabnya.
Peran sufistik dalam penyebaran dakwah Wali Sanga dapat dilihat dari lahirnya karya sastra sufistik pasca Wali Sanga yang berbentuk tembang, syair, kidung, dan hikayat.
Baca juga:
Pergantian cerita wayang yang sebelumnya menceritakan tentang Ramayana dan Mahabarata dari cerita ajaran Hindu diubah dengan memasukkan cerita-cerita Islam.
Wali Sanga juga menyumbang ide seperti perencanaan alat-alat pertanian, desain pakaian, permainan tradisional untuk anak-anak, hingga musik gamelan.
Bukan hanya kebudayaan berupa pegalaran dan tembang. Tradisi tahlilan, sulukan, sedekah bumi, hingga arsitektur masjid yang bernuansa Jawa juga kerap dikaitkan dengan spirit dakwah Wali Sanga.
- Penulis: Robith Marzuban – Redaktur www.lensaish.com
Komentar