LENSAISH.COM – Setiap bulan Desember, masyarakat Indonesia mengenang Gus Dur, Presiden ke-4 Indonesia, sebagai sosok pluralis, pejuang demokrasi, dan pembela hak asasi manusia. Tanggal 30 Desember menjadi momen penting karena pada hari itulah Gus Dur wafat pada tahun 2009.
Namun, ada satu hal menarik yang kerap menjadi pertanyaan: mengapa peringatan bulan Gus Dur selalu dikaitkan dengan kalender Masehi, bukan kalender Hijriah? Mengingat Gus Dur adalah seorang ulama besar, pertanyaan ini sangat wajar muncul, terutama di kalangan umat Muslim yang terbiasa menggunakan kalender Hijriah dalam konteks keagamaan.
Peringatan Gus Dur melalui kalender Masehi tidak hanya soal kepraktisan, tetapi juga mencerminkan sifat universal dari perjuangannya. Gus Dur tidak hanya dikenal di kalangan umat Islam, tetapi juga dihormati oleh berbagai kelompok lintas agama, budaya, dan bangsa.
Dalam konteks inilah, pemilihan bulan Desember lebih dari sekadar tanggal wafatnya, tetapi menjadi simbol dari semangat inklusivitas yang selalu Gus Dur perjuangkan.
Artikel ini akan mengupas alasan-alasan di balik penetapan Desember sebagai Bulan Gus Dur, dan mengapa kalender Masehi lebih relevan dibandingkan kalender Hijriah untuk peringatan ini.
Wafatnya Gus Dur Menggunakan Penanggalan Masehi
Gus Dur wafat pada tanggal 30 Desember 2009, kalender Masehi. Dalam tradisi modern, terutama di Indonesia, peringatan tokoh nasional atau hari besar sering didasarkan pada kalender Masehi, karena lebih umum digunakan dalam kehidupan sehari-hari, termasuk untuk penentuan hari libur atau peringatan nasional.
Gus Dur sebagai Tokoh Nasional dan Universal
Gus Dur dikenal bukan hanya sebagai seorang ulama, tetapi juga sebagai tokoh nasional dan pemimpin politik global. Penggunaan kalender Masehi yang bersifat universal, lebih memudahkan masyarakat lintas agama, budaya, dan negara untuk memahami serta mengikuti peringatan ini.
Sebagai contoh, banyak tokoh lintas agama yang menghormati Gus Dur, sehingga penggunaan kalender Masehi menjadi pilihan yang inklusif dan tidak hanya terbatas pada konteks umat Muslim saja.
Tradisi Penanggalan Masehi di Indonesia
Sebagian besar peringatan nasional di Indonesia, termasuk Hari Pahlawan (10 November) atau Hari Ibu (22 Desember), menggunakan kalender Masehi. Hal ini berbeda dengan peringatan berbasis agama Islam, seperti Maulid Nabi atau Idul Fitri, yang memang mengacu pada kalender Hijriah.
Bulan Gus Dur adalah refleksi perjuangan beliau dalam konteks kebangsaan, pluralisme, dan toleransi, maka kalender Masehi dipilih untuk memperluas jangkauan dan maknanya.
Tidak Ada Catatan Khusus pada Kalender Hijriah
Gus Dur wafat pada tanggal 9 Muharram 1431 H, dalam kalender Islam diperingati dengan tradisi Asyura. Namun, kalender Hijriah bersifat lunar dan tanggalnya berubah setiap tahun, jika dibandingkan dengan kalender Masehi. Oleh karena itu, penetapan berdasarkan kalender Hijriah dapat menyulitkan konsistensi peringatan di tingkat nasional.
Praktikalitas dan Keberlanjutan Peringatan
Kalender Masehi lebih umum digunakan untuk administrasi publik, penetapan jadwal acara, dan pengorganisasian kegiatan. Bulan Gus Dur diperingati di bulan Desember agar lebih mudah diatur, diingat, dan dirayakan oleh berbagai kalangan.
Pemilihan bulan Desember sebagai Bulan Gus Dur didasarkan pada praktik sejarah dan kebutuhan inklusivitas. Hal ini memungkinkan seluruh masyarakat Indonesia, dari berbagai latar belakang, dapat mengenang Gus Dur dengan mudah dan melanjutkan perjuangan beliau, dalam membangun toleransi, pluralisme, dan kemanusiaan.
Penanggalan Masehi bersifat universal, sehingga dapat menjangkau audiens yang lebih luas, dibandingkan kalender Hijriah yang cenderung spesifik dalam konteks keagamaan Islam.