Kepercayaan Masyarakat Jawa Sebelum Masuknya Islam

LENSAISH.COM – Sesungguhnya, agama, dan kepercayaan tidak sekadar hiasan, melainkan konsumsi hati dan subyektif sehingga orang dapat dengan bebas berekpresi menurut cara masing-masing.

Sayangnya, agama sering dikaitkan dengan kolektif, sehingga ada orang yang dianggap “lebih beragama” karena memiliki kolektif relatif besar (agama dominan).
Sebaliknya, kepercayaan Jawa sering dianggap minor, sehingga posisinya kurang menguntungkan.

Posisi kepercayaan dianggap “kurang beragama”, biarpun sebenarnya juga beragama. Namun demikian, paling tidak, di Jawa ini agama cenderung dianggap produk politik, sebagai warisan masa lalu yang memiliki “pedoman” atau kitab. Adapun kepercayaan adalah produk kultural, yang tidak memiliki pedoman (kitab) khusus.

Agama adalah kesatuan sistem kepercayaan dan praktik-praktik yang berkaitan dengan hal ikhwal dan sakral. Karasteristik agama selalu berfikir pada hal-hal yang ghaib.

Baca Juga:

Sebelum mengenal Tuhan, orang Jawa telah memiliki paham animisme. Paham ini dianggap sebagai pilar pengetahuan Tuhan. Paling tidak, orang Jawa akan menghayati yang menguasai animis (anima) atau roh. Paham animisme, belakangan ini mencuat menjadi kaum abangan (istilah Geertz).

Anehnya, paham animisme yang berkembang menjadi pemahaman dinamisme (keyakinan pada kekuatan benda sakti). Walaupun keduanya saling berdampingan, namun keduanya tetap berbeda.

Baca Juga  Kronologi Kamus Sejarah Indonesia Beredar Secara Tidak Resmi

Dinamisme, keyakinan atau kepercayaan pada benda-benda tertentu yang memiliki kekuatan ghaib yang mengontrol kehidupan manusia, seperti batu bertuah, keris keramat dan lain sebagainya. Sedangkan, animisme pemujaan pada hal-hal spiritual, seperti roh, jiwa, setan, dewa-dewi.

Sebelum mengenal Tuhan, orang Jawa memahami dunia kasar (wadhog) dan dunia halus. Ketika orang Jawa meninggal, diyakini rohnya itu memiliki kekuatan. Roh tersebut dapat membantu dan juga mengganggu hidupnya. Agama roh itu disebut “animisme”.

Baca Juga:

Ismawati (2002:5-6) menyatakan bahwa orang Jawa termasuk masyarakat ber-ketuhanan. Sejak zaman prasejarah, orang Jawa telah memiliki paham aminisme, yaitu suatu kepercayaan tentang adanya roh atau jiwa pada benda-benda, tumbuhan, hewan, dan manusia itu sendiri. Kepercayaan seperti itu adalah agama mereka yang pertama.

Di Jawa, paham animisme masih terasa ketika orang-orang datang ke kuburan, membakar kemenyan, dengan lantunan doa-doa (mantra) Jawa. Ketika orang jawa ke kuburan, lalu pulang membuat sesaji di senthong, dengan tujuan roh nanti akan hadir “makan sesaji” itu. Pemahaman semacam ini, jelas merupakan bentuk aimisme Jawa.

Baca Juga  Mencoba Memahami Arah Industri Media

Animisme Jawa ini sulit dihilangkan, karena sudah menjadi tradisi. Akan tetapi pengkajian yang dilakukan sistem animisme ini tetap penting, karena ponsulat yang menjadi landasan juga dapat ditemukan di kalangan sejarawan-sejarawan agama yang tidak menerima apa yang dinamakan animisme.

Dhavamony (1999:67-79) menyatakan, animisme, sebagaimana digunakan dan dipahami oleh E.B.Tylor, mempunyai dua arti. Pertama, dia dapat dipahami sebagai suatu sistem kepercayaan di mana manusia religius, khususnya orang-orang primitif, membutuhkan jiwa pada manusia dan juga pada semua mahluk hidup dan benda mati. Kedua, animisme dapat dianggap sebagai teori yang dipertahankan oleh Tylor dan pengikut-pengikutnya, bahwa ide tentang jiwa manusia merupakan akibat dari pemikiran mengenai beberapa pengalaman psikis.

Baca Juga:

Kepercayaan akan mahluk-mahluk berjiwa meliputi dua bentuk: kepercayaan bahwa manusia memiliki jiwa yang tetap bertahan sesudah kematiannya dan kepercayaan bahwa ada makluk-mahluk berqiwa lainnya (mahluk-mahluk yang dipribadikan), kepercayaan tentang mahluk-mahluk berqiwa memiliki kemungkinan tentang adanya malaikat, jin, ataupun kehidupan yang ada di planet lain.

Baca Juga  Perjalanan Quartararo Juara Dunia MotoGP, Akhir Dramatis di Balapan Perpisahan Rossi

Di Jawa, banyak leluhur yang dijadikan tumpuan persembahan, tentunya ketika Islam belum tersebar. Pemujaan tokoh-tokoh mistis sering terjadi. Persembahan dan pemujaan mereka lakukan dalam bentuk ritual. Orang Jawa yang masih memuja Dwi Sri, Nyi Rara Kidul, Mbah Cikal Bakal, Penemuan ajaran Kejawen, dan sebagainya. Leluhur yang biasanya telah tiada biasanya dijadikan kiblat atau paling tidak perantara hidup.

Selain pemuja leluhur, orang Jawa juga memiliki keyakinan yang disebut dinamisme. Dinamisme adalah upaya orang Jawa menyakini benda-benda seperti keris, tombak, songsong, batu akik, akar bahar, kuku macan sebagai jimat (Ismawati, 2002:10).

Keyakinan semacam ini sampai sekarang masih sering dilakukan oleh orang Jawa di berbagai wilayah, terutama di daerah yang belum tersentuh oleh agama resmi, terlebih agama Islam.

Pemeliharaan benda-benda bertuah, seperti pusaka menjadi sipat kandel, wesi kuning, sebagai tameng bahaya, jelas potret dinamisme. Misalnya, ada yang bertapa di Kedhung Sana Kulon Progo, untuk mendapatkan keris sakti dan jarik lurik. Dengan demikian, dinamisme Jawa dapat dikatakan sebuah bagian dari agama Jawa itu sendiri.

  • Penulis: Muhammad Robith Marzuban
  • Editor: Afifatun Ni’mah

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *