LENSAISH.COM – KH. Sya’roni Ahmadi Al Hafidz lahir di Kota Kudus, 17 Agustus 1931 M. Beliau merupakan anak ke tujuh dari delapan bersaudara.
Beliau ditinggalkan ibundanya ketika berusia 8 tahun. Sepeninggal ibunya kiai Sya’roni diasuh oleh sang Ayah.
Namun masa ini pun tidak berlangsung lama. Ketika menginjak usiannya yang ke 13 tahun, kiai Sya’roni ditinggal oleh ayahnya. Lengkap sudah duka kiai Sya’roni karena sejak saat itu ia menjadi anak yatim piatu. Setelah itu, ia diasuh oleh kakeknya.
Kemampuannya dalam menyampaikan tafsir Al-Qur’an dengan bahasa yang mudah dipahami itu memang sudah diasah sejak dini. Setidaknya, ia memperdalam pengetahuan tafsirnya melalui beberapa kiai, yakni KH. Muhammad Arwani Amin, KHR. Asnawi, KH. Turaichan Adjhuri, dan Sayyid Abdillah.
Di usia 11 tahun ia sudah merampungkan hafalan Alfiyah Ibnu Malik, kitab monumental tentang tata bahasa Arab. Tiga tahun berikutnya, usia 14 tahun, Kiai Sya’roni Ahmadi sudah menghafal Al-Qur’an secara keseluruhan kepada KH. Arwani Amin dalam jangka waktu delapan bulan. Kepada Kiai Arwani juga, ia berulang kali mengkhatamkan kitab Tafsir Jalalain yang menjadi pegangan dalam pengajian di Menara Kudus.
Baca Juga:
Meski sempat mengenyam pendidikan di Madrasah Diniyah Mu’awanah di Madrasah Ma’ahid lama (masa KH. Muchit). Semua pengajian itu ia tempuh sebagai santri kalong. Hal tersebut tidak membuatnya patah arang, justru menjadi motivasi untuk semakin giat menggali ilmu.
KH. Sya’roni Ahmadi Al Hafidz mulai berdakwah di masyarakat dalam usianya yang sangat muda. Dalam melaksanakan dakwah ini, Kiai Sya’roni menggunakan dua model. Pertama yakni model dakwah di masjid-masjid atau di sebuah rumah warga yang dijadikan tempat untuk mengaji. Kedua adalah pengajian umum.
Metode pertama ini biasanya dipakai dan dikonsumsi oleh masyarakat sekitar tempat tinggalnya. Pengajian yang dilakukan sudah ditetapkan jadwal dan proses pengajarannya pun dilakukan secara berkesinambungan.
Sepertihalnya, Kiai Sya’roni juga tercatat menjadi pengajar di sejumlah pesantren dan madrasah di Kota Kudus, seperti Madrasah Banat NU, Muallimat, Qudsiyyah, Tasywiquth Thullab Salafiyah (TBS), dan Madrasah Diniyah Kradenan Kudus.
Model kedua biasanya dipakai untuk berdakwah di luar daerah. Hal ini karena di samping masalah waktu yang tidak memungkinkan untuk berdakwah dengan model pertama juga terkadang karena permintaan dari penduduk setempat.
Dalam melakukan dakwah ini, sekitar tahun 1960 sampai 1970-an, Kiai Sya’roni dikenal sebagai tokoh yang sangat keras. Apalagi saat itu adalah masa ideologi komunisme yang dilancarkan oleh PKI.
Gaya yang “keras” ini selalu dipakai Kiai Sya’roni dalam berbagai kesempatan karena keadaan waktu itu mengandaikan demikian. Baik ketika khutbah maupun pengajian umum, Beliau selalu tampil dengan mengambil hukum yang tegas ketika dihadapkan pada suatu permasalahan yang terjadi dalam masyarakat (waqi’iyyah). Konon gaya seperti ini sering dipakai KH. Turaichan dalam berdakwah.
Baca Juga:
- KH. Sya’roni Ahmadi Tutup Usia, Berikut Kiprah & Tumpukan Karya Beliau
- Ulama Kharismatik Kudus KH. Sya’roni Ahmadi Tutup Usia
Namun sekitar periode 1980-an, kiai Sya’roni mulai banting setir. Gaya dakwah yang selama ini dilakukan dengan keras dirubah total dengan memakai gaya yang melunak. Perubahan gaya dalam berdakwah ini dilakukan dengan pendekatan komparatif yakni merujuk kepada pergeseran masyarakat dari waktu ke waktu serta logika kebutuhan masyarakat yang tiap saat berubah. Karena masyarakat dari waktu ke waktu berubah maka metode berdakwah pun mesti berubah.
Penjelasan mengenai kandungan Al-Qur’an memang harus disampaikan dengan menyesuaikan kemampuan pendengarnya. Vernakularisasi menjadi jalan ampuh agar ayat-ayat Al-Qur’an dapat menyentuh hati masyarakat.
Begitulah KH Sya’roni Ahmadi menyampaikannya melalui pengajian yang diampunya di berbagai majelis, khususnya Pengajian Tafsir al-Jalalain di Masjid Al-Aqsha Menara Kudus, setiap Jum’at bakda Subuh. Hal itu berlangsung selama hampir 40 tahun, yakni sejak tahun 1983.
Tak pelak, hal itu menarik ribuan jamaah yang tidak saja berasal dari Kudus, melainkan juga dari beberapa kota di sekitarnya. Bahkan, mereka bukan saja warga Nahdliyin yang berafiliiasi dengan Nahdlatul Ulama, tetapi juga ada yang merupakan warga Muhammadiyah. Pasalnya, Kiai Sya’roni tidak pernah membeda-bedakan dua ormas tersebut. Pengajian yang disampaikannya juga lebih umum.
Kiai Sya’roni dalam pengajian tafsirnya mengupayakan kerukunan. Hal itu ditempuh dengan pendamaian perselisihan dalam masalah khilafiyah antara NU dan Muhammadiyah. Sebab, dalam pandangan Kiai Sya’roni, perselisihan yang selama ini terjadi antar umat Islam, khususunya antara penganut NU dan Muhammadiyah, dalam hal tuntunan ibadah seperti qunut, jumlah rakat tarawih, dan lain-lain, lebih banyak disebabkan karena ketidaktahuan sejarah, dalil, ataupun landasan. Karenanya, cara yang dapat ditempuh untuk merukunkan antarkeduanya adalah dengan melakukan tabayun secara objektif.
Tidak saja rukun dengan sesama Muslim yang berbeda pandangan, Kiai Sya’roni juga mengajak Muslim untuk rukun dengan non-Muslim melalui pengajiannya tersebut. Rukun dalam segi muamalahnya, tidak melampaui batas akidah dan syariahnya.
Misalnya, Kiai Sya’roni memperbolehkan ucapan selamat natal kepada umat Nasrani dengan catatan sebagai tahniah atas kelahiran Nabi Isa A.S., tetapi haram jika diniatkan sebagai bentuk pengakuan terhadap keyakinan mereka atas ketuhanan Yesus.
Dalam konteks ke-partaian, pada 1955 Kiai Sya’roni merupakan sosok yang rajin berkampanye untuk Partai Ka’bah. Sampai dengan tahun 1970-an Kiai Sya’roni juga sering terlibat aktif dalam Partai NU sampai akhirnya NU mengambil keputusan kembali ke Khittah 1926 dalam Muktamar Situbondo. Dan beliau merupakan orang NU yang mendukung kembali khittah NU 1926.
Adapun pasca khittah NU, Kiai Sya’roni juga sempat terlibat di Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Namun beliau hanya bermain di belakang layar dan tidak berada di garis struktural ke-partaian. Beliau cenderung mengambil posisi netral. Langkah ini menjadikan kiai Sya’roni mampu diterima oleh semua kalangan. Hubungan dengan pemerintah daerah yang waktu itu didominasi oleh Golkar tetap terjaga dengan baik. Ditambah lagi dengan pembawaan beliau yang lunak dan halus.
Baliau juga sangat menghindari kepentingan partai dalam setiap pengajian yang dilakukan. Kegiatan kultural Kiai Sya’roni tetap berjalan dengan baik. Bahkan beliau menjadi sosok yang disegani, baik oleh pemerintah daerah maupun kelompok-kelompok yang lain.
Baca Juga:
Selain itu, selama perjuangannya di Kudus, Kiai Sya’roni telah memberikan banyak hal. Tradisi santri yang sekarang ini lekat dengan masyarakat Kudus rasanya tak bisa dilepaskan dari jasa beliau. Pengajian rumahan atau di masjid-masjid seperti di Masjid Al Aqsha Menara Kudus masih rutin dijalankan.
Pengajian tersebut diantaranya adalah membaca Al-Qur’an dan Tafsir Al-Qur’an. Adapun waktunya setelah Subuh. Dalam setiap pengajiannya, Kiai Sya’roni juga mampu men-setting iklim toleransi antara beberapa kelompok yang ada, sebut saja kaum Nahdliyyin dan Muhammadiyah.
Dalam bidang pengembangan fisik, Kiai Sya’roni banyak memberikan jasa dalam mengembangkan madrasah-madrasah di kota Kudus, seperti Madrasah Banat, Muallimat, Qudsiyyah, Tasywiq al-Thullab al-Salafiyah (TBS), dan Madrasah Diniyah Keradenan Kudus.
Karya Beliau
Kiai Sya’roni Ahmadi merupakan salah seorang ulama yang produktif berkarya. Kealimannya dalam berbagai cabang ilmu agama terbukti dengan kitab-kitabnya yang mencakup bidang-bidang keilmuan tersebut.
(1) Al-Faraid al-Saniyah wa al-Durar al-Bahiyyah (1960-1970).
Kitab ini menguraikan secara terperinci mengenai ahlussunnah wal jamaah.
(2) Faidl al-Asani ‘ala Hirz al-Amani wa Wajh al-Tahani (1976).
Kitab ini membahas berbagai macam bacaan Al-Qur’an. Kiai Sya’roni membaginya ke dalam tiga jilid.
(3) Al-Tashrih al-Yasir fi ‘Ilmu al-Tafsir (1972).
Kitab merupakan penjelasan (syarh) atas kitab ilmu tafsir dalam bentuk syair karya Syekh Abdul Aziz al-Zamzami.
(4) Tarjamah As-Sulam al-Munawraq fi Ilmil Mantiq (1984).
Kitab ini ditulis dengan bahasa Jawa aksara pegon.
(5) Tarjamah Tashilut Turuqat li Nazm al-Waraqat fi ‘Ilmi Usul al-Fiqh (1984).
Kitab ini juga ditulis dengan bahasa Jawa beraksara pegon.
(6) Qira’ah al-Ashriyah (1983).
Kitab yang terdiri dari tiga jilid ini berisi bacaan-bacaan bahasa Arab untuk mempermudah pembelajaran bahasa Arab bagi Madrasah Qudsiyyah.
- Penulis: Muhammad Fikri Ainul Hana – Redaktur lensaish.com
Komentar