LENSAISIH.COM – Abdullah An-Na‘im adalah seorang pemikir Muslim yang kontroversial. Ia dikenal dengan gagasannya yang kritis terhadap ilmu-ilmu Al-Qur’an klasik dan mencoba menawarkan pendekatan yang lebih kontekstual, terbuka, serta relevan dengan perkembangan sosial dan budaya di dunia Muslim. Meskipun gagasannya mendapat dukungan dari sebagian kalangan, banyak pula yang mengkritiknya, terutama dari kelompok yang berpegang teguh pada tradisi tafsir klasik.
Pemikiran Abdullah An-Na’im terhadap Ulum Al-Qur’an Klasik
1. Konsep Makkiyah-Madaniyyah. Dalam tradisi Ulum Al-Quran klasik, ayat-ayat Makkiyah dan Madaniyah diklasifikasikan berdasarkan waktu dan tempat turunnya wahyu. Namun, Abdullah An-Na‘im dan gurunya menafsirkan konsep ini dari sudut pandang yang berbeda. Menurutnya, perbedaan utama antara ayat Makkiyah dan Madaniyah tidak hanya terletak pada waktu atau tempat turunnya, tetapi juga dalam pesan, tujuan, serta tingkat universalitasnya.Ia berpendapat bahwa ayat-ayat Makkiyah lebih bersifat universal, menekankan nilai-nilai keadilan, kesetaraan, dan martabat manusia.
Dalam ayat-ayat Makkiyah, Al-Qur’an sering kali menyapa manusia secara umum dengan seruan seperti “Wahai anak Adam” atau “Wahai manusia”, tanpa membedakan ras, warna kulit, agama, atau jenis kelamin. Sebaliknya, ayat-ayat Madaniyah lebih bersifat partikular, karena diturunkan dalam konteks masyarakat Muslim yang sudah terbentuk dan menghadapi tantangan politik serta militer.
Dalam ayat-ayat Madaniyah, terdapat pembahasan mengenai legitimasi perang, hubungan antara Muslim dan non-Muslim, serta perbedaan hak dan kewajiban antara laki-laki dan perempuan.Bagi Abdullah An-Na‘im, memahami Al-Qur’an dalam dua perspektif ini sangat penting untuk menghindari kontradiksi dalam teks suci. Ia menolak anggapan bahwa ada pertentangan antara ayat-ayat dalam Al-Qur’an. Sebaliknya, ia menekankan bahwa pemahaman kontekstual terhadap Makkiyah dan Madaniyah harus dilakukan agar Al-Qur’an tetap relevan dengan perkembangan zaman.
2. Konsep Evolusi Syariah (Nasakh). Dalam pandangan klasik, nasakh (pembatalan hukum) terjadi ketika ayat yang turun belakangan menggantikan hukum dalam ayat yang turun lebih dahulu. Namun, Abdullah An-Na‘im memahami nasakh sebagai bentuk “evolusi syariah”, di mana hukum Islam harus terus berkembang sesuai dengan kebutuhan zaman.
Ia berpendapat bahwa ayat-ayat yang lebih relevan dalam satu periode akan menjadi muhkam (berlaku), sedangkan ayat-ayat yang kurang sesuai dengan kondisi sosial tertentu akan dianggap mansukh (ditangguhkan penerapannya). Dalam perspektif ini, hukum Islam menjadi lebih fleksibel dan dinamis. Bahkan, ayat yang pernah dianggap mansukh bisa dihidupkan kembali jika suatu saat dibutuhkan.Pendekatan ini bertentangan dengan teori nasakh klasik yang menganggap penghapusan ayat sebagai sesuatu yang permanen.
Bagi Abdullah An-Na‘im, yang perlu “dinasakh” bukanlah teks Al-Qur’an itu sendiri, melainkan pemaknaan terhadapnya. Ia mengusulkan agar ayat-ayat Madaniyah yang lebih bersifat spesifik dan eksklusif digantikan oleh ayat-ayat Makkiyah yang lebih menekankan prinsip keadilan dan kesetaraan. Dengan cara ini, ia ingin menjadikan hukum Islam lebih inklusif dan selaras dengan prinsip hak asasi manusia.
Metode “evolusi syariah” yang ditawarkannya tidak hanya berorientasi pada teks, tetapi juga mempertimbangkan nilai-nilai kemanusiaan, kebebasan individu, dan keadilan sosial. Ia menolak pendekatan tekstualis yang kaku dan lebih menekankan penggunaan akal dalam memahami hukum Islam agar tetap relevan dengan tantangan zaman modern
.3. Kritik terhadap Hadis. Selain mengkritik konsep Makkiyah-Madaniyah dan nasakh, Abdullah An-Na‘im juga mempertanyakan validitas hadis sebagai sumber hukum Islam. Ia berpendapat bahwa banyak hadis yang diragukan keasliannya karena adanya kemungkinan kesalahan dalam periwayatan.Menurutnya, dalam proses transmisi hadis, ada kemungkinan periwayat mengalami lupa atau salah mengingat, sehingga memunculkan hadis-hadis yang tidak autentik.
Oleh karena itu, ia menilai bahwa usaha untuk memilah hadis yang benar-benar sahih dari yang lemah atau palsu merupakan tugas yang hampir mustahil.Dalam konteks ini, ia mengusulkan agar umat Islam lebih berfokus pada Al-Qur’an sebagai sumber utama ajaran Islam, dibandingkan dengan hadis yang memiliki kemungkinan distorsi historis.
Kritiknya terhadap hadis ini juga memperlihatkan kecenderungannya untuk mengedepankan pendekatan rasional dan kontekstual dalam memahami Islam.Pemikiran Abdullah An-Na‘im tentang Ulumul Quran klasik didasarkan pada upaya reinterpretasi teks suci agar lebih relevan dengan perkembangan zaman. Ia menolak pendekatan yang terlalu tekstualis dan menawarkan perspektif yang lebih fleksibel terhadap konsep Makkiyah-Madaniyah, nasakh, dan hadis.
Meski gagasannya mendapat kritik dari kalangan ulama tradisional, pendekatannya menawarkan perspektif baru dalam memahami hukum Islam yang lebih inklusif dan berorientasi pada nilai-nilai kemanusiaan. Dengan menekankan prinsip keadilan dan kesetaraan, ia berharap bahwa Islam dapat terus berkembang tanpa kehilangan esensinya sebagai agama yang membawa rahmat bagi seluruh umat manusia.