Layar yang Tak Pernah Padam

LENSAISH.COM Dira adalah seorang remaja berusia 16 tahun yang hampir selalu ditemukan dengan ponselnya. Pagi, siang, malam—tangannya seolah menyatu dengan layar. Semua orang tahu kebiasaan itu, termasuk ibunya yang sudah sering menasihatinya.

“Dira, kapan terakhir kali kamu baca buku selain layar itu?” tanya Ibu suatu sore sambil melipat cucian.

“Bukankah aku juga belajar lewat layar, Bu?” balas Dira santai tanpa mengalihkan pandangan dari TikTok-nya.

Ibu menghela napas. Tidak ada yang bisa menandingi algoritma media sosial yang terus menawarkan hiburan tanpa henti.

Namun, semakin hari, kebiasaan itu mulai berdampak. Dira merasa lelah sepanjang waktu, meskipun ia jarang bergerak. Nilai sekolahnya turun drastis, dan ia mulai kesulitan mengikuti percakapan sederhana dengan teman-temannya.

“Eh, kamu tahu kan soal proyek grup minggu depan?” tanya Nisa, temannya.

“Proyek apa?” Dira bingung.

“Serius? Kita sudah bahas ini seminggu lalu!” ucap Nisa.

Dira hanya diam, merasa malu. Namun, begitu sampai di rumah, tangannya kembali mencari pelipur lara: layar ponselnya.

Hingga suatu malam, sesuatu terjadi. Dira terbangun tengah malam dengan kepala pusing dan perasaan gelisah yang aneh. Ia merasa kesepian, meskipun ribuan video dan unggahan selalu menemaninya. Saat itu, ia menyadari satu hal: meskipun “terhubung” dengan dunia, ia benar-benar merasa kosong.

Esok harinya, Dira memberanikan diri berbicara dengan ibunya.

“Bu, aku rasa aku butuh bantuan,” katanya pelan.

Ibunya terkejut, tetapi juga lega. Mereka mulai mencari solusi bersama.

Dira mulai membatasi waktu layar dan mencoba kembali ke dunia nyata. Awalnya, sulit baginya melepaskan kebiasaan itu. Namun, sedikit demi sedikit, ia belajar untuk hidup lebih hadir.

Beberapa bulan kemudian, Dira berhasil mendapatkan kembali fokusnya. Ia kembali membaca buku, mengerjakan tugas sekolah dengan baik, dan bahkan bergabung dengan klub debat.

“Kadang aku kangen scroll-scroll itu,” akunya suatu hari kepada Nisa.

“Tapi aku lebih suka hidupku sekarang,” lanjutnya sambil tersenyum.

Dira belajar bahwa dunia nyata menawarkan sesuatu yang tak pernah bisa diberikan layar: kehangatan, makna, dan koneksi sejati.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

News Feed