Bagian 1 : Sejarah dan Old Version
LENSAISH.COM – Sistem politik, dimana raja dan bangsawan berkuasa, berimplikasi pada sistem ekonomi dan kegiatan produksi. Raja, bangsawan, dan agamawan merupakan elit sosial yang biasa disebut kaum aristokrat, sementara rakyat adalah kelas pekerja atau kaum profesional. Sistem yang berlaku sangat feodal misalnya, kaum bangsawan punya hak istimewa bernama prima noctes.
Prima noctes yaitu hak bangsawan untuk memerawani setiap pengantin yang tinggal di tanah mereka, sebelum pasangan mempelai itu berbulan madu. Hak ini konon diberikan oleh Raja Edward (Inggris) agar kaum bangsawan Skotlandia senang dan tidak memberontak melawan kerajaan.
Begitulah gambaran sekilas kultur feidal di Eropa utara abad ke-14. Rakyat adalah petani penggarap lahan di tanah para bangsawan. Mereka harus membayar pajak tanah dan bekerja memenuhi kebutuhan kerajaan atau kastil-kastil milik para aristokrat.
Kegiatan produksi dipusatkan dalam sistem gilda, dimana produksi dan distribusi diatur sedemikian rupa. Setiap kastil atau kerajaan berlomba-lomba memperkaya diri melalui pajak atau ekspor barang yang menjadi unggulan. Mereka punya tentara yang kerap bertempur untuk mempertahankan kekuasaan politik dan ekonomi.
Sistem ekonomi dimasa itu disebut merkantilisme.
Seiring dengan berkembangnya teknologi pelayaran, kerajaan-kerajaan dan kaum bngsawan Eropa mulai melakukan perjalanan dalam rangka kolonialisasi ke benua-benua lain. Mereka mencari sumber-sumber daya alam baru. Maka lahirlah kelas sosial baru yang memperoleh kekayaan dari perkembangan zaman.
Mereka barangkali tak punya hak kebangsawanan, tapi memiliki modal dan menjalankan kegiatan ekonomi sendiri.
Mereka kini membutuhkan buruh, setidaknya anak buah kapal untuk membantu berlayar ke negeri-negeri asing. Terjadilah persaingan memperebutkan tenaga kerja. Pasar tenaga kerja kini tak dimonopoli oleh kaum bnagsawan atau tuan tanah. Para perani ingin berlayar dan menjajal peruntungan dengan tuan-tuan baru yang tak mengenal prima noctes.
Ekonomi merkantilisme tak mampu lagi menyesuaikan diri dengan perkembangan ini. Di sisi lain, kelompok intelektual mulai berseteru dengan elit gereja yang mempertahankan dogma. Gereja dianggap menghalangi perkembangan ilmu pengetahuan dan membatasi manusia mencapai taraf peradaban yang lebih tinggi. Pengaruh politik tak lagi ditentukan oleh keturunan dan kasalehan religius, tetapi oleh penguasaan pada teknologi.
Nah, gerakan kelompok intelektual yang menentang aristokrasi ini bertemu dengan golongan Orang Kaya Baru yang menginginkan akses pada sumber-sumber ekonomi dan aturan perdagangan yang lebih bebas.
Inilah momentum kelahiran liberalisme atau paham kebebasan. Aturan ortodoks dan hak-hak istimewa kaum bangsawan digugat. Manusia unggul bukan karena keturunan raja atau ditunjuk Tuhan, tapi karena kapasitas intelektual atau jaringan bisnisnya. Maka lahirlah revolusi industri di Inggris dan negara-negara Eropa di abad ke-18 hingga abad ke-19.
Pendek kata, liberalisme di Eropa mula-mulanya bukan semata gerakan ekonomi, melainkan pandangan-pandangan politik.
Secara ringkas, prinsip-prinsip ajaran liberalisme sebagai berikut;
- Demokrasi adalah bentuk sistem politik yang lebih baik (daripada aristokrasi atau monarki).
- Masyarakat memiliki kebebasan intelektual, termasuk kebebasan berbicara, beragama, atau berorganisasi.
- Pemerintah hanya mengatur kehidupan masyarakat secara terbatas. Rakyat harus belajar mengambil keputusan sendiri.
- Kekuasaan seseorang pada orang lain, adalah hal yang buruk. Sebab, kekuasaan selalu disalahgunakan dan cenderung menindas. Perbudakan, arostokrasi, dan feodalisme dengan demikian adalah sistem sosial yang buruk.
Jadi liberalisme ini pada mulanya adalah proses dialektika peradaban yang terjadi di Eropa di masa itu. Sebagai antitesis terhadap feodalisme dan perlawanan pada penindasan kelompok aristokrasi.
Bagian 2 : Neoliberalisme
Disinilah kemudian ekononom seperti Freidich von Hayek ingin mengembalikan liberalisme yang sempat “terinterupsi” oleh pemikiran Keynes -Seorang Ekonom Universitas Cambridge yang mengajarkan, bahwasanya kepentingan orang paling pintar dan bijak sekalipun tidak selalu sesuai dengan kepentingan umum. Ia lalu menawarkan konsep walfare state (negara kesejahteraan)-. Dia ingin ingin liberalisme lahir kembali, dan karenanya disebut liberalisme baru, alias neo-liberalisme.
Bersama muridnya, Milton Friedman, Hayek menginginkan suatu sistem ekonomi yang sama dengan kapitalisme abad ke-19, dimana kebebasan individu berjalan sepenuhnya dan campur tangan sesedikit mungkin dari pemerintah dalam kehidupan ekonomi. Regulator utama dalam kehidupan ekonomi adalah mekanisme pasar, bukan pemerintah.
Mekanisme pasar dapat menjadi alat untuk memecahkan masalah sosial.
Yang “baru” tidak saja kemunculannya kembali. Yang bangkit kembali adalah juga gagasanya tentang kedaulatan pasar yang tidak hanya berhenti pada masalah-masalah ekonomi, tetapi juga pasar sebagai ideologi untuk mengatur kehidupan sosial, politik, dan hukum. Pendidikan, kesehatan, dan air. Jadi “neo-nya” ini adalah soal kebaruan dan soal penambahan unsur yang diliberalkan.
Sebenarnya secara filosofis dan historis, neo-nya ini juga tak baru-baru amat, kalau ditilik dari kemunculan liberalisme di Eropa yang juga diawali dari gerakan intelektual, sosial, dan politik. Jadi liberalisme klasik pun mulanya bukan gerakan ekonomi.
Namun, bila liberalisme klasik ala Adam Smith hanya ngurusi pabrik dan perusahaan dagang, Freidrich von Hayek menuntut pengaturan ulang keputusan-keputusan politik, produk hukum, dan lembaga-lembaga sosial lainya. Semua harus dibiarkan bebas ditentukan oleh mekanisme pasar.
Itulah mengapa, agenda neoliberali menuntut agar bidang-bidang seperti pendidikan atau kesehatan publik sebaiknya diprivatisasi atau diswastakan saja. Bila lembaga-lembaga ini dikelola oleh swasta, maka pasti lebih efisien dan terjadi persaingan yang sehat, sehingga konsumen pendidikan dan kesehatan diuntungkan. Kompetisilah yang membuat manusia hidup, berkembang, dan dinamis. Bukan subsidi.
Dalam agenda neoliberal, privatisasi bukan hanya sebagai strategi agar sebuah organisasi efisien, melainkan sudah menjadi tujuan. Memang tidak semua privatisasi, swastanisasi, liberalisasi, atau deregulasi berwajah neoliberalisme.
“Tetapi neoliberalisme memang punya tujuan agar berbagai bidang kegiatan dalam masyarakat digerakkan oleh motif pengejaran kepentingan diri privat. Itulah mengapa etos publik, solidaritas sosial, tindakan afirmatif terhadap kelompok miskin dan tersingkir adalah omong kosong besar bagi agenda neoliberal” tulis Herry Priyono di Koran Kompas.
Penulis: Fikri Ainul Hana (Redaktur lensaish.com)
Komentar