Lumbung Ikan Nasional, Kedaulatan Pangan atau Ekspoiltasi?

LENSAISH.COM – Upaya pemerintah menggenjot kontribusi semua sektor pembangunan melalui investasi patut diapresiasi.

Pemerintah telah menerbitkan Undang-Undang Cipta Kerja, yang diharapkan bakal menciptakan lapangan kerja, mengatasi hambatan-hambatan investasi, dan memulihkan ekonomi akibat pandemi Covid-19.

Presiden Jokowi pun telah merombak kabinetnya dengan membentuk Kementerian Investasi sebagai motor penggeraknya dan menunjuk Bahlil Lahadalia sebagai nakhoda merangkap Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM).

Salah satu yang hendak digenjot ialah sektor perikanan melalui program Lumbung Ikan Nasional (LIN).

Pemerintah telah menerbitkan turunan Undang-Undang Cipta Kerja, yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2021 tentang Hak Pengelolaan, Hak atas Tanah, Satuan Rumah Susun, dan Pendaftaran Tanah; Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Kelautan dan Perikanan; dan Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2021 tentang Penyelesaian Ketidaksesuaian Tata Ruang, Kawasan Hutan, Izin, dan/atau Hak atas Tanah.

Baca juga:

Dari ketiga peraturan yang terbit itu, Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2021 amat mencolok karena membolehkan perubahan zona inti di kawasan konservasi menjadi pemanfaatan proyek strategis nasional.

Amat mungkin kawasan konservasi laut Indonesia yang seluas 23,918 juta hektare berubah fungsi menjadi industri, pelabuhan, atau apa pun.

Lalu, Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2021 juga memunculkan terminologi “hak pengelolaan dan/atau perizinan terkait memanfaatkan ruang laut” (Pasal 15).

Bukankah ini model baru hak pengusahaan perairan pesisir (HP3) atau neo-HP3 yang telah dibatalkan Mahkamah Konstitusi lewat putusan Nomor 3/PUU-VIII/2010 pada 2010?

Terdapat isu-isu penting yang perlu disorot dari kebijakan-kebijakan tersebut.

Baca juga:

Isu investasi ini dikaitkan dengan kebijakan pemberantasan kejahatan perikanan (illegal, unreported and unregulated fishing atau IUUF).

Pertama, sepanjang 2004-2014, tren investasi penanaman modal dalam negeri (PMDN) di sektor perikanan relatif konstan.

PMDN melonjak sejak 2014, dari Rp 21,7 miliar menjadi Rp 276,6 miliar pada 2015. Lalu, pada 2016 turun menjadi Rp 2,6 miliar dan melonjak kembali menjadi Rp 36,1 miliar (2017), Rp 67,6 miliar (2018), dan Rp 184,4 miliar (2019).

Baca Juga  Saatnya Santri 'Ngulik' Investasi

Total realisasi sepanjang 2015-2019 sebesar Rp 565,3 miliar (BKPM, 2020).

Angka ini jauh lebih tinggi dibanding pada periode 2005-2009 (Rp 32,9 miliar) dan 2010-2014 (Rp 42,6 miliar).

Artinya, kebijakan pemberantasan kejahatan perikanan selama 2014-2019 telah meningkatkan kepercayaan investor dalam negeri untuk berinvestasi dan berusaha di sektor perikanan tangkap.

Baca juga:

Lahirnya Undang-Undang Cipta Kerja dan peraturan pemerintah turunannya berpotensi memicu perampasan ruang laut dan sumber dayanya dengan dalih proyek strategis nasional.

Misalnya, peraturan pemerintah yang membolehkan perubahan zona inti kawasan konservasi menjadi pemanfaatan.

Perubahan ini cenderung mengakomodasi kepentingan korporasi/pelaku usaha perikanan skala besar dan mengesampingkan kepentingan keberlanjutan sumber daya ikan dan mengancam nasib nelayan kecil.

Padahal, zona inti berperan melindungi sumber daya ikan dan ekosistemnya hingga keberlanjutan metabolisme alam.

Ingat, sebagian besar Coral Triangle Initiative (CTI) dengan keragaman biodiversitas laut tertinggi di dunia seluas 19,14 juta hektare juga berlokasi di wilayah LIN.

Baca juga:

Kedua, Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2021 mensyaratkan bahwa bangunan-bangunan di wilayah pesisir dan pulau kecil harus bersertifikat.

Masalahnya, jika masyarakat nomaden, seperti Suku Bajo, dan masyarakat adat di wilayah LIN hendak membangun rumah atau tambatan perahu, mereka bakal dikenai biaya sertifikasi.

Apakah mereka sanggup mengurusi dan memenuhinya?

Lebih ekstrem lagi, lahan milik nelayan di wilayah pesisir dan pulau kecil di wilayah LIN tiba-tiba saja diduduki dan disertifikasi korporasi yang hendak membangun infrastruktur wisata. Bukankah hal ini berarti mengusir mereka?

Lahirnya regulasi baru soal kelautan dan perikanan membuat program LIN menjadi seksi.

Ia mencakup Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Indonesia (WPPNRI) berupa Teluk Tolo dan Laut Banda; Teluk Tomini, Laut Maluku, Laut Halmahera, Laut Seram dan Teluk Berau; serta Laut Aru, Laut Arafuru, dan Laut Timor bagian timur. Masalahnya, ketiganya telah mengalami penangkapan yang berlebihan.

Baca juga:

Baca Juga  Sambut Muharram, Padepokan Ary Senpai Gelar Santunan Anak Yatim

Secara geografis, LIN mencakup delapan provinsi, yakni Sulawesi Utara, Gorontalo, Sulawesi Tengah, Maluku, Maluku Utara, Sulawesi Tenggara, Papua, dan Papua Barat. Ironisnya, nyaris semua provinsi itu memiliki persentase penduduk miskin di atas rata-rata nasional, kecuali Maluku Utara dan Sulawesi Utara. Rasio Gini-nya pun relatif timpang, kecuali Maluku Utara.

Ketiga, soal ekspor perikanan. Suhana (2015) mencatat, ekspor perikanan di wilayah LIN memang turun. Penurunannya bukan karena nilai ekspornya, melainkan pola ekspor berubah. Ikan dari wilayah LIN kini tidak diekspor ke Cina dan Thailand.

Menurut Suhana, sebelum 2015, komoditas perikanan dari wilayah LIN langsung diekspor ke Thailand dan Cina lewat mekanisme alih muatan di tengah laut.

Pada masa itu, kapal-kapal ikan Cina dan Thailand bebas beroperasi secara legal ataupun ilegal. Itu sebabnya, sebelum 2015, kejahatan perikanan marak. Selama 2015-2019, pemerintah menetapkan kebijakan moratorium kapal asing dan melarang alih muatan di tengah laut.

Baca juga:

Imbasnya, pola ekspor berubah alias tak bisa lagi langsung ke Cina dan Thailand. Pola ekspornya harus lewat Jawa Timur dan Jakarta. Otomatis nilai ekspor ikan dari wilayah LIN turun, khususnya di Maluku. Nilai ekspornya kini tercatat di Jawa Timur dan Jakarta.

Mendorong LIN sebagai proyek strategis nasional yang terkonsentrasi di tiga WPPNRI patut dicermati. Apakah investornya domestik ataukah asing? Siapa saja investor asing yang bermain di wilayah LIN? Suhana (2020) mencatat, negara asing yang kini dominan berinvestasi perikanan di wilayah LIN adalah Cina, yang mencapai 58,57 persen, terutama di Maluku. Sisanya, Cina berinvestasi di Bali dan Jawa Timur.

Mencermati fenomena ini, LIN bukan berorientasi menyejahterakan masyarakat pesisir (nelayan) di delapan provinsi, melainkan investor asing dan negara lain.

Hal ini berpotensi memperparah tingkat eksploitasi sumber daya ikan ketimbang menjamin keberlanjutannya.

Baca juga:

Orientasi LIN berpotensi memicu perampasan ruang laut dan sumber dayanya serta memperparah kemiskinan dan kesenjangan sosial-ekonomi hingga ketimpangan ekonomi.

Baca Juga  Sholat Ied Bareng Santri, Gus Rozin: Silaturrahmi Punya Dua Makna

Secara filosofis, masyarakat petani memaknai “lumbung” sebagai “wadah menyimpan” untuk mengamankan ketersediaan pangan pada musim paceklik.

Lumbung merupakan warisan kearifan lokal Nusantara sebagai perwujudan kedaulatan pangan petani desa. Kini pemerintah mengadopsinya dalam perikanan lewat program strategis nasional.

Sayangnya, filosofi lumbung ini mengalami pergeseran. Semestinya wilayah LIN dirancang untuk mengamankan, mengelola, dan melindungi pangan dari ikan secara berkelanjutan bagi kebutuhan seluruh rakyat Indonesia.

Baca juga:

Ini malah diarahkan buat investasi asing yang cenderung eksploitatif. Padahal wilayah LIN juga telah mengalami tangkap lebih. Bukankah jaminan kedaulatan pangan dari ikan malah terancam?

Pemerintah telah membentangkan karpet merah buat investor asing lewat berbagai kebijakan dan regulasi.

Investasi memang dibutuhkan agar mendorong pertumbuhan ekonomi. Pasalnya, pemerintah, lewat Kementerian Kelautan dan Perikanan, menargetkan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) perikanan sebesar Rp 12 triliun hingga 2024. Rasanya ini terlalu ambisius. Investasi di sektor perikanan tangkap acap kali berbahaya.

Bila investasi perikanan tangkap skala komersial dibarengi meningkatnya bobot kapasitas kapal, hal itu berpotensi memicu eksploitasi berlebih.

Padahal stok sumber daya ikan di perairan Indonesia dan LIN umumnya telah mengalami tingkat eksploitasi berlebihan (modal alam) (Carvalho et al, 2020).

Baca juga:

Upaya pemerintah memacu investasi perikanan lewat program LIN semestinya tetap menerapkan prinsip perikanan bertanggung jawab dan keberlanjutan.

Jangan sampai kebijakan investasi justru menguras sumber daya ikan. Ini pekerjaan rumah yang penting.

Kalau perlu, pemerintah menetapkan kebijakan sustainable blue degrowth, yaitu menurunkan dan mengendalikan produksi perikanan wilayah LIN.

Pemerintah mendahulukan politik kesejahteraan rakyat dan memposisikan pertumbuhan yang datang belakangan sebagai konsekuensi meningkatnya kesejahteraan.

Konsep ini dikenal sebagai “komunitas biru” (blue communities), yang memposisikan pertumbuhan sebagai tetesan ke atas (trickle-up outcome) (Campbell et al, 2021), bukan model investasi asing yang berimbas tetesan ke bawah (trickle-down outcome).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *