LENSAISH.COM – “Kok Mudik bukanya Pulang Kampung, bukankah itu sama saja ?” Mungkin, di sini terdapat keterbatasan definisi bahasa kita—bukan maksud membela Pak Jokowi atau merendahkan bahasa Indonesia—di Jawa Tengah, misalnya, kita kenal nama sesuatu yang sama akan tetapi sesuai ruang dan waktu akan berubah namanya.
Misalnya, beras: kalau masih di pohon namanya pari/padi, sudah di panen namanya gabah, sudah di giling namanya jadi beras, berasnya hancur jadi mener, dimasak namanya sego/nasi, nasinya jatuh 1 biji ke lantai di sebut upo, masak beras kebanyakan air namanya jadi bubur, nasi digoreng mananya nasi goreng, makan nasi tidak habis di jemur jadi aking, aking di goreng jadi makanan ringan yaitu intep.
Nah sekarang permasalahan bahasa, kenapa pulang ke kampung itu disebut mudik? Siapa yang memberi nama mudik? Siapa yang sudah sepakat kalau pulang ke kampung di sebut mudik. Siapa yang pertama kali kasih nama mudik, apakah di bahasa yang lain mudik itu artinya pulang ke kampung?
Bahasa itu di buat atas kesepakatan bersama di masyarakat bahwa pulang ke kampung di sepakati pada waktu itu dengan kata “mudik.” Apakah bisa di ralat? Coba tanya ahli bahasa. Sekarang oleh Pak Presiden “mudik dan Pulang Kampung” punya makna yang berbeda. Bab pertama kitab mantiq itu adalah takrif yaitu latihan mendefinisikan sesuatu.
Misalnya, ini mohon maaf dulu ya saya menyebut Anjing, padahal di KBBI adalah binatang menyusui yang biasa dipelihara untuk menjaga rumah, berburu, dan sebagainya, tetapi kenapa di lingkungan masyarakat di sepakati atau mungkin tanpa di sepakati kalau ngatain orang anjing ada yang marah.
Baca Juga:
- Poin-Poin Penting Terkait Larangan Mudik Lebaran 2021
- Wapres Ma’ruf Amin Minta Dispensasi Mudik Bagi Santri, Ini Komentar Bidang Transportasi
Kalau pun kalian mau menjelaskan sesuai KBBI bahwa Anjing itu hewan yang menyusui tetapi yang sudah kita katain terlanjur marah akan tetap marah dan tidak terima.
Kita tidak siap dengan definisi baru, bahasa itu adalah suatu kebudayaan dan budaya itu akan terus berkembang sesuai zaman. Menurut Koentjaraningrat (1992), bahasa merupakan bagian dari kebudayaan, atau dengan kata lain bahasa itu di bawah lingkup kebudayaan.
Dalam kasus Rocky Gerung misalnya, beliau mengatakan bahwa “Jika, fiksi itu baik dan mengaktifkan imajinasi untuk membawa orang sampai ke tujuannya—Surga. Maka, kitab adalah Fiksi” disini banyak yang kontra terhadap definisi beliau—walaupun misalnya itu hanya sebuah simulasi karena menggunakan kata “Jika” dan “Maka”. Sama dengan Pak Jokowi yang mendefinisikan “Mudik” dan “Pulang Kampung”, sepertinya Pak Presiden kita sedang menjadi “filsuf” dengan mencoba mendefinisikan sesuatu dulu dalam berkata.
Ingat kata Plato, saya tak tahu Plat O itu daerah mana, tahunya plat H, Plat B dll. Plato adalah filsuf yang menginginkan bahwa pemimpin negara itu harus seorang Filsuf. Ya mungkin kalau dalam agama Islam ya Ulama yang intelektual, atau intelektual yang Ulama.
Padahal kita sudah di jelaskan dulu definisinya yang baru, misalnya, agar fiksi itu tidak kelihatan buruk sedangkan yang buruk itu adalah fiktif. Kecuali definisi tidak di jelaskan di awal akan banyak tafsir yang berbeda. Sama dengan Pak Jokowi sudah memberi tahu definisi barunya tentang “Mudik” dan “Pulang Kampung.”
Teori ugal-ugalan saya di atas tersebut sedikit menjelaskan antara “Mudik” dan “Pulang kampung.” Sebenarnya Pak Presiden sudah mendefinisikan apa itu mudik apa itu pulang kampung—maklum dari awal pandemi kita hidup bersama istilah-istilah baru—ada sosial distancing, work from home, positif, otg, sekarang ada suspek dll.
Baca Juga:
Menurut Pak Jokowi sendiri mudik dan pulang kampung itu beda, Mudik adalah perjalanan pulang ke kampung karena pas momen Idul Fitri dan juga waktunya terbatas setelah selesai masa cuti akan kembali ke tempat dimana ia kerja atau rumahnya tinggal—domisili.
Sedangkan pulang kampung adalah perjalan pulang ke desa/kota/tempat kelahiran di kampung halaman, misalnya, karena habis masa kontrak kerja dan sengaja tidak akan balik lagi merantau—mungkin beberapa tahun lagi baru ada kenalan yang nawari kerja—untuk merantau baru kerj ke perantauan lagi.
Perlu Peraturan Ketat Tentang Mudik dan Pulang Kampung
Sebagai Duta Perubahan Perilaku Satgas COVID-19 saya mendukung niat baik pemerintan itu ee..aa—padahal sudah lama saya tidak update kegiatan perubahan perilaku—sibuk kerja, kerja dan Kerja ee…aa. Pemerintah melarang Mudik Pulang Kampung agar tidak berisiko menciptakan simpul-simpul baru kasus COVID-19.
Mayoritas pemudik berasal dari wilayah dengan kasus COVID-19 tinggi, inilah sebab pemerintah melarang mudik. Karena Indonesia belum terbebas dari pandemi COVID-19. (The Conversation, Dwiyanti Kusumaningrum, Ari Purwanto Sarwo Prasojo, Yulinda Nurul Aini, Indonesian Institute of Sciences (LIPI), 2021)
Pemerintah bahkan telah menegaskan peraturan mudik ini sudah Final dan sudah di tindak lanjuti dengan penerbitan Peraturan Menteri Perhubungan untuk mengatur pergerakan Masyarakat.
Hal ini penting mengingat mudik adalah fenomena sosial besar dan berisiko menciptakan simpul-simpul baru kasus COVID-19 di berbagai daerah di Indonesia.
Baca Juga:
- HAM, Topik Pembicaraan yang Tak Memilliki Ujung
- Feminisme dan Kodrat Perempuan
- Mencoba Memahami Arah Industri Media
Pada masa pandemi, kota-kota besar tidak hanya menjadi pusat kegiatan ekonomi, tapi juga menjadi simpul penyebaran virus COVID-19.
Berdasarkan peta sebaran kasus COVID-19 oleh Komite Penanganan COVID-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional, berbagai wilayah khususnya kota-kota besar di Pulau Jawa kini menjadi pusat kasus COVID-19 terbanyak. (Peta Sebaran. COVID19.go.id, 2021)
Bisa kita bayangkan, jika mudik Lebaran tidak dibatasi, maka risiko penyebaran COVID-19 akan semakin meluas ke berbagai daerah di Pulau Jawa. Bahkan, penambahan kasus yang tinggi tidak bisa terhindarkan karena besarnya mobilitas berasosiasi positif dengan penularan virus.
Cara Pandang Masyarakat Tentang Resiko
Selain mengatur tentang pola aliran mudik, cara pandang masyarakat juga perlu di perhatikan. Berdasarkan hasil survei LIPI.go.id 43,78 % responden merasa bahwa mudik masih bisa dilakukan pada masa pandemi, proporsi yang cukup tinggi meski masih di bawah 50%.(The Conversation, Dwiyanti Kusumaningrum, Ari Purwanto Sarwo Prasojo, Yulinda Nurul Aini, Indonesian Institute of Sciences (LIPI), 2021)
Pandangan ini menjadi masalah jika banyak warga yang masih merasa aman kemudian nekat mudik meski larangan mudik telah ditetapkan. Meski pada tahun ini ada sekitar 5 juta warga Indonesia sudah mendapatkan Vaksin COVID-19 hal ini tidak sepenuhnya menjadikan keadaan menjadi sangat aman. (Kawalcovid19.ID)
Masyarakat masih perlu menjalankan protokol kesehatan, menjaga jarak, dan membatasi mobilitas sebagai bentuk usaha gotong royong dalam menekan kasus penyebaran COVID-19.
- Penulis: Ahmad Waffa Kamal – Kontributor Malang