oleh

Merealitaskan Dunia Maya

LENSAISH.COM – Per Senin, 2 Maret 2020 nama Indonesia tercatat dalam negara yang terjangkit Covid-19 atau sekitar 4 bulan setelah ditemukannya kasus pertama di Cina atau 9 hari sebelum WHO (World Health Organization) menetapkanya sebagai suatu pandemi dan kematian Covid-19 pertama pada tanggal 11 Maret 2020.

Kasus pertama yang menjangkiti dua warga Indonesia, yaitu perempuan berusia 31 tahun dan ibu berusia 64 tahun tepatnya di kota Depok, Jawa Barat.

Namun, tim pakar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI) menilai telah terjadi penularan Covid-19 secara lokal berdasarkan pada laporan kasus orang dalam pemantauan (ODP) dan pasien dalam pengawasan (PDP) di salah satu daerah sejak minggu ke-3 Januari 2020.

Secara garis besar dapat diambil kesimpulan, Covid-19 mulai bertamu ke Indonesia sejak permulaan tahun 2020.

Kemudian, Presiden Joko Widodo pada 13 Maret 2020 membentuk Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 dan pada 31 Maret 2020 menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).

Diketahui, Covid-19 dapat menyebar melalui percikan pernapasan (droplet) dan akibat menyetuh permukaan benda yang terkontaminasi sehingga pembatasan aktivitas fisik diberlakukan guna mengurangi dan menghentikan penyebaranya.

Baca Juga  Tips Membangun Vision Principle atau Prinsip Masa Depan

Banyak pihak terdampak adanya pandemi Covid-19. Sebagian mampu menjadikannya peluang, sebagian menjadi terhimpit oleh ketiadaan ruang.

Ruang yang sekian lama menjadi tumpuan realitas, dengan segera digeser oleh tamu tak kasat mata namun digdaya.

Siasat dan kreativitas manusia dalam bertahan hidup serta memuculkan hal-hal baru dalam rangka memberikan kemudahan telah menjadi naluri.

William Gibson, penulis novel fiksi ilmiah dalam buku ceritanya “Burning Chrome”, 1982 dan “Neuromancer”, 1984 pertama kali memperkenalkan kata cyberspace atau dunia maya. Sebuah dunia dengan ekosistem digital yang untuk berbagai keperluan tidak mensyaratkan kontak secara fisik.

Dunia ini menjadi solusi praktis dan produktif ketika ruang fisik yang sebelumnya dengan mudah diakses dipersulit oleh keadaan.  

Hasil riset Google, Temasek, dan Bain & Company pada tahun 2021 menunjukkan 72% konsumen menyatakan jasa pesan antar makanan online membuat aktivitas lebih mudah dan praktis. Kemudian, sebanyak 41% responden menjadikan jasa pesan antar makanan online sebagai bagian dari rutinitas.

Bahkan, menurut survei PricewaterhouseCoopers (PwC) pada tahun 2021 mayoritas masyarakat di dunia berencana melanjutkan penggunaan layanan kesehatan secara virtual, meski pandemi Covid-19 telah mereda.

Baca Juga  Kejutan HSN 2021, Kemnaker Luncurkan Seribu Beasiswa Talenta Santri

Selanjutnya, hasil riset Goggle, Temasek, dan Bain & Company pada tahun 2021 melaporkan, nilai ekonomi digital Indonesia yang tercermin dari total nilai penjualan (gross merchandise value/GMV) sebesar US$ 70 miliar. Proyeksi ini meningkat menjadi US$ 146 miliar pada 2025 dan menjadi tertinggi di kawasan Asia Tenggara.

Hasil riset diatas secara sekilas cukup melukiskan pemanfaatan sarana digital yang pada tulisan ini disebut sebagai dunia maya yang dahulunya dianggap sebagai antisesis dari dunia nyata perlahan mempersolek sebagai sintesis daripadanya, sehingga realitas semu yang disempatkan pada dunia maya bergeser menjadi realitas itu sendiri. Darinya kedua aspek dapat dilaksanakan, yaitu pengurangan mobilitas dalam rangka pengurangan dan pencegahan penyebaran Covid-19 dan pemenuhan kebutuhan manusia.

Namun, proporsi penjualan di platform digital masih bersifat eksklusif. Laporan Bank Dunia tahun 2021 menunjukkan sebanyak 1% penjual teratas menguasai 47% dari total pendapatan di berbagai platform lokapasar atau e-commerce. Kemudian, sebanyak 9% penjual teratas mendapatkan 32% dari total pendapatan di platform tesebut. Sebanyak 40% penjual hanya memperoleh 18% dari total pendapatan di e-commerce. Sementara, sisanya sebesar 4% total pendapatan harus dibagi kepada 50% penjual lainnya.

Baca Juga  Terdistraksi Notifikasi Cinta

Masih dalam laporan yang sama, hal ini terjadi lantaran terdapat tiga gesekan dalam ekonomi digital Indonesia. Pertama, gesekan antara penjual daring (online) dan luring (offline) disebabkan pola konsumen dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari mulai beralih dari luring ke daring.

Kedua, adanya persaingan antarpenjual daring disebabkan platform digital memberikan beragam pilihan praktis kepada konsumen, sehingga menimbulkan winners takes all.

Ketiga, gesekan antara pekerja dan pengusaha disebabkan platform digital cenderung memberikan supremasi kepada pengusaha, sehingga pekerja memiliki tuntutan kerja yang tinggi.  

Pengalaman baru penggunaan sarana digital secara masif ini dapat menjadi batu pijakan bagi Indonesia dalam menyediakan ekosistem digital secara proporsional yang berorientasi jangka menengah dan jangka panjang sebagai kelanjutan respon jangka pendek dalam sebuah roadmap atau peta jalan, sehingga potensi digital yang diproyeksikan bertambah pesat mampu menempatkan masyarakat Indonesia pada high level entry atau paling tidak pada mid-level entry.

Seperti, pemberian pelatihan skill digital yang komprehensif, dukungan bagi pengembangan agregatorbisnis dan pelayanan online, dukungan berupa penyediaan fasilitas dan infastruktur pendukung bagi ekosistem digital.

  • Penulis: Fikri Muhammad

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *