LENSAISH.COM – Sejarah nasi megono Pekalongan berawal dari budaya Keraton Yogyakarta pada masa Kerajaan Mataram Kuno. Adat disana kerap mengadakan sesaji untuk upacara bekakak, sebagaimana ditulis cintapekalongan.com.
Sesaji bekakak dibagi menjadi tiga kelompok; 2 kelompok untuk dua jail yang bersama diletakkan dengan pengantin bekakak.
Satu kelompok lagi diletakkan di dalam jodhang sebagai rangkaian pelengkap sesaji upacara.
Macam-macam sesajen yang diletakkan bersama pengantin bekakak antara lain nasi gurih (uduk) ditempatkan dalam pengaron kecil.
Nasi liwet ditempatkan di kendhil kecil beserta rangkaiannya daun dhadhap, daun turi, daun kara yang direbus, telur mentah dan sambal gepeng.
Baca Juga:
Lalu ada tumpeng urubing dhamar, kelak kencana, pecel pitik, jangan menir, urip-uripan lele, rindang antep, ayam panggang, ayam lembaran, wedang kopi pahit, wedang kopi manis, jenewer, rokok/cerutu, rujak degan, rujak dheplok,arang-arang kemanis, padi, tebu, pedupaan, candu (impling), nangka sabrang, gecko mentah, ulam ripat, ulam jeroan, gereh mentah.
Sesaji itu ditempatkan dalam dushi, gelas, kemudian ditaruh di atas jodhang.
Isinya antara lain sekul wajar (nasi ambeng) dengan lauk pauk sambel goreng waluh, tumis buncis, rempeyek, tempe garing, bergedel, enho-entho, dan sebagainya.
Sekul galang lutut, sekul galang biasa, tempe rombyong yang ditaruh dalam cething bambu, tumpeng megana, sanggan (pisang raja setangkep), sirih sepelengkap.
Tak hanya itu, jenang-jenangan, rasulan (nasi gurih), ingkung ayam, kolak, apem, randha kemul, roti kaleng, adah bakar, emping, klepon (golong enten-enten), tukon pasar, sekar konyoh, kemenyan, jlupak baru, ayam hidup, kelapa juga masuk di dalamnya.
Sajen-sajen tadi ditempatkan dalam dushi lalu semuanya diletakkan dalam lima ancak.
Baca Juga:
Dua ancak diikutsertakan dalam jail dibagikan kepada mereka yang membuat kembang mayang, bekakak dan menjadikan tepung (ngglepung). Sementara itu disiapkan pula merpati dalam sangkar.
Di atas itu adalah awal megono dengan bentuknya berupa nasi tumpeng, pinggirnya diberi gudangan/urapan cecek/gori (nangka muda).
Cara khas orang Pekalonangan, saat itu cecek (nangka muda) dipotong kecil dan ditambahi dengan bumbu parutan kelapa dan rempah lainnya yang didhang atau dikukus. Jadi tidak tercampur seperti sekarang ini.
Jaman dulu, sesaji ini dibawa ke daerah bawahan Mataram Kuno, termasuk Pekalongan.
Di daerah pantura sesaji ini juga dipakai untuk sedekat Dewi Sri, penguasa padi. Ini agar hasil padi melimpah dan makmur. Jadi saat itu tumpeng megono diadakan untuk sesajian pada Dewi Sri. Ini di jaman Hindu.
Masuknya Islam pada jaman Mataram mengubah tampilan megana karena biasanya megono diadakan untuk acara tahlil, tahmid di masjid-masjid.
Nasi itu bukan lagi untuk sesaji tapi dibagikan untuk makan bersama-sama. Isinya masih tetap sama. Malah ada sekul wajar, yaitu sego ambeng dengan lauk pauk dan sego liwet yang nasinya dikukus dengan santan, ditambah ayam atau telor yang digudeg.
Baca Juga:
Kalau dulu jadi sesaji, bahkan dilarung ke laut, maka sego ambeng biasanya dibawa pulang dan tumpeng megono dibagi untuk dimakan bersama di masjid kalau ada acara peringatan.
Zaman sekarang megono tidak lagi dibuat untuk tumpeng di acara agama, melainkan sudah menjadi bagian dari industri makanan yang menggiurkan.
Megono Pekalongan mudah dibuat dan rasanya khas. Bentuknya tak lagi tumpeng tetapi berubah menjadi nasi bungkusan kecil dari daun pisang atau jati dengan gereh (ikan asin) serta tempe mendoan. Di Jalan Urip Soemoharjo, Pekalongan Barat banyak sekali dijumpai penjual nasi megono yang khas ini. (LA)
Komentar