Nyadran, Tradisi Unik Masyarakat Jawa

LENSAISH.COM – Tradisi Nyadran merupakan tradisi yang dilakukan secara turun temurun oleh masyarakat Jawa. Tradisi ini dilakukan pada bulan ruwah menjelang bulan puasa. Tradisi nyadran biasanya dilakukan di makam leluhur atau makam tokoh yang banyak berjasa bagi syiar agama pada masa lampau.

Tradisi yang hingga saat ini masih berlangsung di masyarakat pedesaan itu mempunyai makna simbolis, hubungan diri orang Jawa dengan para leluhur, dengan sesama, dan tentu saja dengan Tuhan.

Tradisi nyadran intinya berupa ziarah kubur pada bulan Sya’ban (Arab), atau Ruwah dalam kalender Jawa, menjadi semacam kewajiban bagi orang Jawa. Ziarah dengan membersihkan makam leluhur, memanjatkan doa permohonan ampun, dan tabur bunga tersebut adalah simbol bakti dan ungkapan penghormatan serta terima kasih seseorang terhadap para leluhurnya.

Baca Juga  Kenali Cara Taklid; Ikut Pendapat Mujtahid dengan Benar

Makna yang terkandung dalam persiapan puasa di bulan Ramadan adalah agar orang mendapatkan berkah dan ibadahnya diterima Allah. Lewat ritual nyadran, masyarakat Jawa melakukan penyucian diri. Mereka mengunjungi makam leluhur, membersihkan batu-batu nisan dari rumput liar dan ilalang, dan melakukan kendurian.

Baca Juga:

Meski bentuk kegiatan sama, namun makna nyadran sangat berbeda dengan ziarah kubur. Perbedaan itu, antara lain karena waktu pelaksanaan ritual nyadran telah ditentukan secara sepihak oleh pihak yang memiliki otoritas di daerah tersebut.

Di hampir semua desa, pihak yang berwenang menentukan waktu nyadran adalah juru kunci atau sosok yang paling dituakan dalam masyarakat. Berbeda dengan ziarah kubur, ritual nyadran dilakukan secara kolektif, melibatkan seluruh warga desa.

Baca Juga  Redakan Kecemasan, Cobalah Trik Mudah Meditasi Ini

Ritual nyadran ini biasanya dilakukan di dua pusat bangunan desa, yaitu makam dan masjid. Setelah melakukan bersih makam, acara beralih pada kenduri yang biasanya digelar di masjid atau makam desa. Sebagaimana kenduri pada umumnya, agendanya adalah berdoa dan makan nasi berkat, yaitu berupa nasi tumpeng dengan lauk ingkung ayam, urapan, buah-buahan, serta jajan.

Baca Juga:

Di beberapa desa di Demak yang tradisi nyadran-nya masih kuat, masyarakat meletakkan aneka sesaji dalam sebuah tenong, yaitu nampan bulat yang terbuat dari anyaman bambu, dengan alas daun pisang atau daun jati. Satu tenong dikepung beberapa orang sekaligus. Ketika acara doa atau tahlilan selesai, maka mereka akan makan beramai-ramai.

Baca Juga  Festival Gandrung Seni Nusantara, Abad Kesunyian Gaungkan Kesenian

Makna simbolis dari ritual nyadran atau ruwahan itu sangat jelas, bahwa saat memasuki bulan Ramadhan atau puasa, mereka harus benar-benar bersih, yang antara lain diupayakan dengan cara harus berbuat baik terhadap sesama, juga lingkungan sosialnya.

Melalui rangkaian tradisi nyadran itulah orang Jawa,khususnya masyarakat Demak akan merasa lengkap dan siap untuk memasuki ramadhan, bulan suci yang penuh berkah itu. Sebab, bagi orang Jawa, nyadran juga berarti sebuah upaya untuk lebih mendekatkan diri kepada Tuhan, memperbaiki hubungan baik dengan masyarakat dan lingkungan, serta menunjukkan bakti kepada para leluhur mereka.

  • Penulis: Wakhid Nurhidayat

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *