Pandangan Aliran Soal Pelaku Dosa Besar dan Status Keimananya

LENSAISH.COM Bagaimana status keimanannya orang yang melakukan dosa besar? Pertanyaan inilah yang kemudian menjadi perdebatan para teolog muslim. Jika kita ilustrasikan, ketika ada seseorang muslim yang dalam hidupnya melakukan kemaksiatan dari kecil mulai besar, dari zina sampai mencuri. Seakan-seakan dalam hidupnya dia tidak pernah melakukan kebaikan sama sekali.

Pertanyaannya, orang tersebut masih bisa dikatakan mukmin atau malah sudah bisa dikatakan kafir karena kemaksiatan yang dilakukannya? mengingat dia pernah mengucapkan ikrar 2 kalimat syahadat, tetapi perbuatan nya tidak selaras seperti apa yang di ikrarkan.

Dalam hal ini, jika difragmentasikan maka akan ada 4 kelompok yang mengisi perdebatan panjang mengenai masalah diatas, ada yang mengatakan ashabul kabair (orang yang melakukan dosa besar) tidak bisa dikatakan muslim lagi, dalam arti lain dia sudah menjadi kafir. Ada yang mengatakan dia masih dikatakan mukmin, dan juga ada yang menjadi penengah antara keduanya. Untuk lebih jelasnya mari kita lihat argumen dari masing-masing kelompok.

Baca Juga:

Kelompok pertama dari kelompok khawarij. Khawarij merupakan sekelompok orang yang kecewa dengan keputusan khalifah Ali bin Abi Thalib saat perang shiffin melawan pasukan pemberontak Mu’awiyyah, yang menerima tahkim yaitu, gencatan senjata dan memilih jalan damai dengan suatu kesepakatan tertentu yang hal ini menurut mereka tidak sesuai dengan hukum allah, dan dari sini akhirnya muncul semboyan mereka la hukma illa lillah.

Dalam hal ini, mereka mengambil sikap yang sangat tegas, mereka mengatakan bahwa ashabul kabair statusnya kafir, karena dalam teologi khawarij, amal itu bagian dari iman itu sendiri (juz’un minal iman) oleh karena itu rusaknya amal dapat diartikan hilangnya iman, dan pemahaman seperti inilah yang nampaknya menjadi embrio lahirnya kelompok-kelompok extrimis yang suka mengkafirkan orang lain dikemudian hari.

Baca Juga  Kontra Perihal Negara Indonesia yang Hendak dijadikan Negara Islam

Kalau Khawarij mengambil jalan yang sangat tegas, justru kelompom Murji’ah mengambil jalan sebaliknya, kelompok yang memang sedari awal tidak mau ikut campur dalam perdebatan politis, antara syiah dan khawarij. Sehingga mereka tidak mau memutuskan mana diantara mereka yang salah, mana yang kafir mana yang muslim, dan memilih menunda (arja’a) dan menyerahkan keputusannya pada Tuhan sampai pada hari pembalasan.

Baca Juga:

Mereka masih memberi harapan, bahwa para pelaku dosa besar masih mukmin dan masih ada harapan diampuni tuhan. Tapi yang perlu diketahui, dalam hal ini Murji’ah keblablasen dalam memberi harapan, karena menurut mereka yang dimaksud iman adalah seperti dalam dluh al-islam juz 3, hlm. 316:

  أن الإيمان هو التصديق  بالقلب فقط، أو بعبارة أخرى هو معرفة الله بقلبه و لا عبرة بالمظهر  

“Yaitu mempercayai dalam hati saja atau dalam arti lain mengetahui allah dalam hati, tidak berkaitan dengan amal perbuatan”

Maka orang yang sudah ikrar, dan beriman secara lisan. Betapapun mereka melakukan dosa apa saja, tidak akan mempengaruhi keimanan seseorang, karena sekali lagi, bahwa yang dimaksud iman adalah hanya soal percaya, tanpa ada kaitannya dengan tingkah laku.

Ketiga, ada kelompok yang memilih jalan yang agak unik, yaitu kelompok Mu’tazilah, kelompok yang dipelopori oleh washil bin atho’, seorang murid dari sufi terkenal dari kalangan tabi’in Hasan basri.

Baca Juga  Hukum dan Ketentuan Penting Masalah Zakat Fitrah yang Harus Diketahui

Kelompok yang menjadikan akal budi sebagai dasar anilisis mereka, atau lebih sering dikenal dengan kelompok rasionalis islam ini berpendapat bahwa pelaku dosa besar berada pada status diantara kafir dan mukmin atau yang lebih dikenal dengan fil manzilah baina manzilataini. Jadi orang tersebut tidak bisa dikatakan mukmin, juga tidak bisa dikatakan kafir.

Baca Juga:

Konsep ini lahir saat Hasan basri ditanya oleh seseorang tentang status keimanan ashabul kabair, namun sebelum Hasan basri menjawab,  Washil bin atho’ menjawab :

لا أقول إن صاحب الكبائر مؤمن مطلقا، و لا كافز مطلقا،  بل هو في المنزلة بين منزلتين

Yang artinya : “ saya tidak mengatakan bahwa ashabul kabair adalah mukmin secara mutlaq, juga tidak kafir secara mutlaq, akan tetapi dia berada pada posisi diantara keduanya/ manzilah baina manzilataini

Mendengar pernyataan ini, kemudian Hasan basri menilai bahwa Wasil bin ‘atho’ telah menyimpang, yang diungkapkan dengan kata اعتزل عنا الواصل washil telah menyimpang dari (golongan) kita. Yang mana hal ini menjadi penyebab kelompok ini kemudian hari disebut Mu’tazilah.

Kelompok yang terakhir adalah Ay’ariyyah yang lebih memilih jalan menengahi perdebatan kelompok-kelompok diatas. Kelompok yang dipelopori oleh Al-imam Abul hasan al-asy’ari yang sebelum mendirikan kelompok Asy’ariyyah, beliau merupakan murid dari imam al-Jubbai, tokoh besar dari kelompok Mu’tazilah ini, memang dikenal sebagai kelompok penengah dalam beberapa hal.

Dalam hal ini, kelompok ini tidak banyak memberi harapan seperti harapan seperti Murji’ah, juga tidak menutup harapan seperti Khawarij, tetapi kelompok ini berpendapat bahwa pelaku dosa besar statusnya fasiq, masih mukmin, masih islam, tetapi keimananya dan keislmannya kurang sempurna, Amal merupakan buah dari iman, bukan bagian atau rukun dari iman. karena bagaimanapun juga didalam Alqur’an tidak hanya dikenal term kafir atau mukmin saja, tetapi juga ada istilah fasiq.

Baca Juga  Buat Cowok, Jangan Malu Pakai Warna Pink!

Baca Juga:

Jika kita analogikan perdebatan-perdebatan diatas dalam satu kasus, dimana ada seorang yang mengungkapkan kata cinta,sayang pada seseorang tetapi dia tidak pernah berbuat apapun yang mencerminkan rasa cinta nya pada orang yang dicintainya. Maka, kata orang Khwarij orang tadi berarti tidak cinta, karena seharusnya kata cinta itu sejalan dengan perbuatan.

Beda lagi kalau kata orang Murji’ah, dia itu masih dikatakan sayang,cinta meskipun perbuatannya tidak mencerminkan orang yang dicintainya. Karena menurut mereka cinta itu adalah ketika seseorang laki-laki mengungkapkan rasa kepada perempuan  dan tidak berkaitan dengan tingkah laku.

Kalau Mu’tazilah orang tersebut tidak bisa dikatakan cinta, juga tidak bisa dikatakan tidak cinta, dalam arti cintamya berada manzilah baina manzilataini, antara suka dan tidak suka.

Jika golongan Asy’ariyyah, orang tersebut cinta, tapi rasa cintanya tadi tidak sempurna. Karena walaupun orang tersebut pernah mengungkpkan rasa cinta, tapi faktanya perlakuannya tidak selaras dengan ungkapannya.

Jadi setiap kelompok mempunyai argumen teologisnya sendiri-sendiri, toh perbedaan pemikiran dalam kehidupan juga merupakan suatu keniscayaan. Justru perbedaan inilah yang terus mewarnai catur pemikiran dalam islam, yang membuat dinamika pemikiran islam terus maju dan saling merespon dan berdialektika satusama lain.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *