LENSAISH.COM – Fiqh secara lughot (bahasa) memiliki arti “Faham” seperti yang ada dalam hadist :
من يرد الله به خيرا يفقهه في الدين
“Barangsiapa yang dikehendaki baik oleh Allah, maka akan Allah akan memahamkanya dalam urusan agama”(H.R. Muslim).
Sedangkan secara terminologi (istilah) berarti hukum-hukum syari’at yang mengatur tentang perbuatan (amaliah) orang mukalaf -yaitu orang yang islam, berakal, dan sudah baligh- yang diambil/disimpulkan dari dalil-dalil yang partikular.
Secara lebih ringkas Syekh Ibarahim al-Baijuri mendefinisikan fiqh sebagai berikut:
العلم بالاحكام الشرعية التي طريقها الاجتهاد
“Ilmu tentang hukum-hukum syariat yang metode pengambilanya adalah ijtihad”.
Seperti hukum wajibnya niat dalam wudlu, kesunahan qunut Shubuh di rakaat kedua setelah bangun dari ruku’ dll. Sedangkan ijtihad sendiri mempunyai arti mengerahkan segala kemampuan untuk menentukan sebuah hukum. Pelaku atau orang yang melakukan ijtihad disebut Mujtahid.
Baca Juga:
Ketika membahas fiqh pasti meniscayakan adanya perbedaan pendapat dikalangan para ahli -pada konteks ini dinamakan Mujtahid- hal ini dikarenakan hukum fiqh merupakan hasil reinterpretasi seorang mujtahid terhadap teks-teks keagamaan (Al qur’an dan hadist).
Tentunya tidak semua orang memahami suatu naskah hanya dengan satu pemahaman yang sama, terlebih karena setiap hal yang berupa tulisan bisa dipahami secara beragam dan juga memiliki subtansi yang sedemikian luas dan multi tafsir. Jadi tergantung bagaimana nalar mamaknai kandungan yang ada dalam tulisan atau naskah tersebut.
Terkadang perbedaan pendapat juga muncul sebab kultur sosial dan budaya yang berbeda-beda di setiap desa dan daerah, karena hukum islam selalu dituntut agar senantiasa selaras dengan realitas sosial, mengenai hal ini Ibnu Qoyyim al-Jauzi mengatakan:
تغير الاحكام بتغير الازمنة والامكنة والعوائد والنيات
“Perubahan beberapa hukum disebabkan berubahnya waktu, tempat, adat kebiasaan dan motivasi”.
Dalam kaidah Fiqh yang masyhur ;
الحكم يتغير بتغير الازمنة والامكنة
“Hukum senantiasa berubah sebab perubahan waktu dan dan tempat”.
Karena itu, perbedaan pendapat antar mujtahid merupakan hal yang niscaya, lumrah dan tidak bisa dinafikan. Kaidah fiqh mengatakan:
الاجتهاد لا ينقض بالاجتهاد
“Suatu ijtihad tidak bisa menafikan ijtihad lain”
Baca Juga:
Bagi setiap Muslim selain mujtahid wajib mengikuti (taqlid) kepada salah satu pendapat Imam madzhab. Tidak diperbolehkan melakukan ijtihad sendiri terhadap masalah-masalah yang sudah di tetapkan oleh para Mujtahid.
Kita dibebaskan memilih Madzhab apapun yang kita mau, dengan syarat tidak mencampur adukkan pendapat antara satu imam dengan imam lainya (talfiq), dalam satu paket permasalahan hukum(qodliyah) yang kedua imam madzhab tersebut saling tidak mengesahkan apa yang dilakukan orang tadi.
Misalkan ada seorang laki-laki dalam rukun wudlu mengikuti Imam Syafi’i, terus wudlunya tidak disertai menggosok anggota wudlu karena Imam Syaf’i tidak mewajibkannya. Dan dalam hal yang membatalkan wudlu mengikuti Imam Malik. Kemudian menyentuh perempuan non mahram tanpa syahwat, karena menurut Imam Malik menyentuh perempuan non mahram tanpa syahwat tidak membatalkan wudlu.
Maka dalam kasus ini wudlunya orang tadi tidak sah, sebab tidak sah menurut Imam Malik (sebab tidak menggosok anggota wudlu) dan batal menurut Imam Syafi’i (sebab menyentuh lawan jenis non mahram), karena menurut madzhab Maliki ketika wudlu wajib menggosok anggota wudlu, dan menurut Imam Syafi’i menyentuh perempuan non mahrom meskipun tanpa syahwat tetap membatalkan.
Namun ada satu pendapat yang dipelopori al-Kamal ibn al-Hummam yang memperbolehkan talfiq secara mutlak.
Dalam konteks Ahlus Sunnah wal Jama’ah -umumnya- pada bidang Fiqh mengacu pada 4 serangkai Ulama madzhab, yaitu Imam Khanafi, Imam Malik bin Anas, Imam Muhammad bin Idris al-Syafii dan Imam Ahmad bin Hanbal.
Baca Juga:
Hal ini karena hanya pendapat merekalah yang berhasil dijaga otentitas dan orisinalitasnya karena adanya kodifikasi pendapat mereka oleh para pengikutnya.
Dan dalam konteks bangsa Indonesia -khususnya- mayoritas warganya memilih pendapat Imam Syafi’i. Meskipun begitu kita tidak boleh mengingkari atau bahkan menyesat-nyesatkan pendapat Imam madzhab selainya, karena perbedaan pendapatan diakalangan Mujtahid merupakan hal yang wajar dan lumrah terjadi.
Dan juga pada beberapa kasus yang terjadi di Indonesia tidak hanya menggunakan madzhab Syafi’i, tetapi juga Imam madzhab yang lainya seperti mengikuti madzhab Imam Malik dalam kasus bai’ mu’athoh (jual beli tanpa shighot), mengikuti madzhab Imam Abu Hanifah dalam kasus aurot perempuan, bahkan Sekh Nawawi Banten mengikuti pendapat Imam Malik dalam kasus air sedikit jika kemasukan najis hukumnya tetap suci selagi tidak berubah.
- Penulis: Heri Mauludin – Staf Redaksi www.lensaish.com