oleh

Pesan Kiai Agus Sunyoto: Nusantara Miliki Teknik Metalurgi Sangat Tinggi

LENSAISH.COM – Tidak banyak Sejarawan yang dapat mengakses sumber-sumber primer sebuah subjek dan objek sejarah sehingga fakta sejarah yang diungkapkannya memiliki nilai otoritas yang tinggi. Begitulah yang dilakukan oleh K. Ng. H Agus Sunyoto dalam tulisan-tulisan sejarahnya. Beliau selalu memberikan fakta sejarah baru, terutama terkait sejarah Islam di Nusantara, cerita-cerita rakyat, sejarah Wali Songo, serta tradisi dan budaya yang berkembang di Nusantara.

Kiai Agus Sunyoto juga sosok sejarawan berdedikasi tinggi. Hal itu terlihat dalam setiap upayanya dalam meluruskan sejarah. Seperti memberikan keyakinan kepada masyarakat dan pemerintah bahwa sejarah Wali Songo adalah sebuah fakta, bukan mitos. Dengan pendekatan arkeologis dan sejarah total, ia menulis buku Atlas Wali Songo. Buku pertama yang mengungkap Wali Songo sebagai fakta sejarah dengan mengungkap bukti-bukti yang komprehensif. “Semua sumber-sumber primer tentang Wali Songo itu beraksara Jawa,” ujar KH Agus Sunyoto dalam sebuah kesempatan kelas sejarah di STAINU Jakarta.

Sumber-sumber primer sejarah Wali Songo yang beraksara Jawa dan tidak mudah diakses lalu membuat beberapa orang menilai bahwa Wali Songo adalah fiktif bahkan mitos. KH Agus Sunyoto berhasil menghadirkan sejarah Wali Songo sebagai sebuah fakta sejarah dengan merujuk pada sumber-sumber primer tersebut. Atas dedikasinya itu, buku Atlas Wali Songo mendapat penghargaan “Buku Terbaik Nonfiksi” pada 2014 versi Islamic Book Fair. Penghargaan diberikan pada Sabtu (1/3/2014) di Istora Gelora Bung Karno Senayan, Jakarta Pusat.

Baca Juga  Gelar Kuliah Alternatif, Griya Peradaban Bagikan Tips Bijak Bermedia Sosial di Era Digital

Baca Juga:

Penganugerahan buku tersebut diserahkan Ketua Dewan Pertimbangan Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI) Pusat Setia Dharma Madjid kepada Kiai Agus Sunyoto. Dalam sambutannya, Agus Sunyoto mengatakan, penulisan buku Atlas Wali Songo banyak mengalami hambatan sampai tertunda sekitar 3 tahun, “Alhamdulillah dan mendapat pengakuan di Islamic Book Fair,” tutur Beliau.

Kiai Agus menerangkan, buku Atlas Wali Songo mengungkapkan tokoh-tokoh penyebar Islam yang rela meninggalkan tempat tinggal, kampung halaman, harta benda, dan negara, datang ke Indonesia, hanya untuk menyebarkan Islam. “Tokoh-tokoh ini, bukan tokoh-tokoh fiktif, namun benar-benar ada,” tegas Kiai Agus Sunyoto.

Perspektif sejarahnya yang luas, menjadikan KH Agus Sunyoto sebagai salah satu pakar perintis berdirinya jurusan Islam Nusantara di STAINU Jakarta (kini UNUSIA) yang dimulai pada 2013. Ia senantiasa hadir memberikan perspektif sejarah baru dalam setiap forum pengembangan kurikulum sejarah Islam Nusantara yang dilakukan oleh STAINU Jakarta.

Baca Juga:

KH. Agus Sunyoto juga sosok sejarawan yang terus menekankan pentingnya memiliki rasa bangga terhadap khazanah dan kearifan sejarah bangsa Indonesia. Menurut Beliau, mental bangsa Indonesia yang kerap minder terhadap bangsa lain karena tidak banyak memahami sejarah dan kehebatan bangsa Nusantara. Kiai Agus mengungkapkan bahwa bangsa Nusantara pada masa Kerajaan Sriwijaya banyak memasok meriam dan senjata-senjata baja lainnya ke wilayah Malaka. Belum lagi senjata berteknik tinggi seperti keris, tombak, pedang, kujang, dan senjata baja lainnya.

Baca Juga  Fakta Menarik "Singa Cirebon" di Balik Perjalanan Pertempuran 10 November

Menurut Kiai Agus, senjata-senjata tersebut ditempa secara lahir dan batin sehingga memiliki kesaktian. Metode penempaan senjata-senjata tersebut juga menunjukkan bahwa bangsa Nusantara memilik teknik metalurgi yang sangat tinggi. Sebuah teknologi yang mempelajari tentang perilaku fisika dan kimia dari unsur-unsur logam, senyawa-senyawa antarlogam, dan paduan-paduan logam.

Beliau juga sejarawan yang memiliki kesadaran untuk membangunkan generasi muda Indonesia terhadap tradisi dan budaya adiluhung, serta kearifan lokal yang dimiliki bangsa Indonesia. Sebab itu, ketika memimpin Lembaga Seni Budaya Muslimin Indonesia (Lesbumi), KH. Agus Sunyoto menggagas Saptawikrama yang berisi tujuh strategi kebudayaan.

Saptawikrama dalam bahasa Arab al-qawa’id as-sab’ah atau secara bahasa berarti tujuh kekuatan. KH. Agus Sunyoto mengatakan, pada saat ini umat Islam Indonesia, khususnya warga NU menghadapi dua gelombang tantangan kebudayaan besar, dari barat dan timur. Sebab itu perlu adanya strategi kebudayaan yang berangkat dari kekuatan-kekuatan yang dimiliki bangsa Indonesia. “Jadi, didalam pewayangan ada yang disebut trwiwikrama, tiga kekuatan, karena hari ini yang dihadapi adalah kekuatan besar, jadi harus tujuh, saptawikrama, tujuh kekuatan muncul. Yang kita hadapi luar biasa besar harus tujuh kekuatan,” ujar Kiai Agus pada pembukaan kaderisasi Lesbumi pertama bernama Asrama Saptawikrama (Astawikrama) di Gedung PBNU, Jakarta Pusat, Senin (17/2/2015).

Baca Juga:

Berikut isi Saptawikrama Lesbumi NU:

  1. Menghimpun dan mengonsolidasi gerakan yang berbasis adat istiadat, tradisi, dan budaya Nusantara. 
  2. Mengembangkan model pendidikan sufistik (tarbiyah wa ta’lim) yang berkaitan erat dengan realitas di tiap satuan pendidikan, terutama yang dikelola lembaga pendidikan formal (ma’arif) dan Rabithah Ma’ahid Islamiyah (RMI).
  3. Membangun wacana independen dalam memaknai kearifan lokal dan budaya Islam Nusantara secara ontologis dan epistemologis keilmuan.
  4. Menggalang kekuatan bersama sebagai anak bangsa yang bercirikan Bhinneka Tunggal Ika untuk merajut kembali peradaban Maritim Nusantara.
  5. Menghidupkan kembali seni budaya yang beragam dalam ranah Bhinneka Tunggal Ika berdasarkan nilai kerukunan, kedamaian, toleransi, empati, gotong royong, dan keunggulan dalam seni, budaya dan ilmu pengetahuan.
  6. Memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi untuk mengembangkan gerakan Islam Nusantara.
  7. Mengutamakan prinsip juang berdikari sebagai identitas bangsa untuk menghadapi tantangan global.

Kini, masyarakat sejarawan Indonesia, khususnya warga NU telah kehilangan KH Agus Sunyoto. Beliau meninggal dunia pada Selasa, 27 April 2021 bertepatan pada 15 Ramadhan 1442 H. Ia menghembuskan nafas terkahir di Rumah Sakit Angkatan Laut dr Ramelan Surabaya, Jawa Timur sekitar pukul 07.25 WIB. Dan dimakamkan di Kompleks Masjid Ar-Rosyad, Desa Balong, Kecamatan Ringinrejo, Kabupaten Kediri, Jawa Timur.

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *