LENSAISH.COM – Spitit perjuangan para ulama terus terinisiasi ke generasi berikutnya, mereka seakan telah mendapatkan isyarat akan tegaknya suatu negara Indonesia. Para ulama tidak henti melakukan tirakat dan riyadloh untuk keselamatan rakyat Indonesia dan kemerdekaan Indonesia.
Seperti yang dilakukan oleh Kiai Chasbullah Said, ayah dari Kiai Wahab Hasbullah, sesudah melakukan tirakat panjangnya, pengasuh Pondok Pesantren Bahrul Ulum, Tambakberas, Jombang, Jawa Timur ini memberikan sebuah pesan yang dituliskan di menara masjid pesantren (sekarang dikenal dengan menara Masjid Pondok Induk).
Seusai menuliskan pesan tersebut, Kiai Chasbullah Said menutupinya dengan kain satir dan berpesan kepada para santri agar tidak ada yang membuka satir tulisan tersebut.
Baca juga:
Beberapa tahun kemudian menjelang wafatnya, ia berpesan lagi kepada santri. “Lek misale aku mati omongno nang Wahab kongkon buka tulisan nak menara tahun 1948 (kalau misalnya aku sudah meninggal, katakan kepada Wahab untuk membuka tulisan di menara tahun 1948)”.
Setelah memberikan pesan tersebut, beberapa bulan kemudian Kiai Chasbullah Said wafat, dan pesantren diteruskan oleh Kiai Wahab Hasbullah.
Pada tahun 1948, pesan Kiai Chasbullah untuk membuka pesan disampaikan oleh santri kepada Kiai Wahab. Dengan didampingi para santri yang terus mengumandangkan shalawat burdah, ia membuka satir yang diikat di menara masjid. Setelah dibuka, ternyata dibalik satir terdapat ukiran huruf hijaiyah ha ra ta mim yang menempel.
Baca juga:
- Islam Kejawen, Perpaduan Agama dan Budaya Lokal
- Asal-Usul Syair Tombo Ati, Syair Sunan Bonang Sebagai Penenang Jiwa
Setelah melihat dengan seksama, Kiai Wahab mulai mengerti maksudnya. Huruf hijaiyah itu bila disambungkan akan terbaca hurun tammun yang artinya kemerdekaan yang sempurna.
Pada tahun 1948 kemerdekaan Indonesia mulai diakui oleh dunia, agresi militer Belanda juga telah berhasil dipukul mundur. Karenanya, tahun-tahun sebelumnya, ketika kemerdekaan hampir saja diraih, Kiai Wahab menyuruh para santrinya untuk i’tikaf di masjid selama sehari penuh dengan membaca amalan shalawat burdah yang merupakan ijazah dari Kiai Chasbullah Said.
Kiai Wahab memilih menyendiri di dalam sebuah kamar. Begitupun para ulama santri di pesantren-pesantren lainnya, juga melakukan hal yang sama.