LENSAISH.COM – Perewangan merupakan istilah yang lumrah dalam budaya Jawa. Makna ‘rewang‘ dalam bahasa Jawa yaitu pembantu. Lambat laun, istilah tersebut berkembang dalam dunia bisnis yang mengisyaratkan sebuah kerjasama antara manusia dan makhluk supranatural.
Perewangan dalam Bingkai Masyarakat Tradisional dan Modern
Dalam dunia bisnis yang semakin kompetitif, setiap pebisnis tentu mendambakan kesuksesan dan keuntungan yang berlimpah. Namun, dibalik pencapaian materi terdapat fenomena yang cukup unik di beberapa masyarakat tradisional, seperti penggunaan praktik “perewangan”.
Perewangan merupakan sebuah bentuk kerjasama antara manusia dengan makhluk ghaib, untuk mendapat keuntungan dalam bisnis secara instan. Praktik perewangan mencerminkan fenomena sosial kompleks antara kepercayaan budaya dan nilai-nilai keagamaan. Fenomena ini cukup dinilai sebagai praktik yang kontroversial terutama dari sudut pandang agama.
Fenomena ini bisa dipahami sebagai respon masyarakat terhadap kebutuhan perekonomian mereka yang semakin kompleks dan bersaing ketat. Sebagai pengusaha kecil tentu mereka membutuhkan bantuan tambahan disamping modal yang telah mereka keluarkan. Tambahan yang dimaksud adalah adanya campur tangan “rewang” dalam bentuk tak kasat mata yang dikenal dengan istilah perewangan.
Bahkan, perewangan menjadi daya saing bagi masyarakat tradisional, yang tentunya berbeda dengan strategi saing bisnis modern. Biasanya, perewangan ini merupakan warisan dari generasi dahulu yang kemudian diwariskan secara turun-temurun. Masyarakat percaya bahwa praktik perewangan dapat memperlancar bisnis mereka melalui kekuatan supranatural. Perewangan juga dipercaya dapat menarik pelanggan dan mendatangkan keberuntungan terutama bagi bisnis kuliner, toko kelontong, maupun usaha lainnya.
Meskipun bagi sebagian orang, perewangan dapat membantu mereka meraih keuntungan material yang melambung tinggi. Namun, bagi sebagian lain tidak sedikit yang beranggapan bahwa fenomena perewangan ini hanyalah sebuah ilusi kesukesesan semata, atau kekayaan semu yang tidak langgeng. Di berbagai daerah yang mempraktikan perewangan ini, umumnya melakukan beragam ritual-ritual, seperti rutin memberikan sesajen sebagai simbol penghormatan makhluk ghaib yang dianggap membantu bisnis mereka.
Keuntungan Material atau Kerugian Spiritual?
Kekayaan yang diperoleh oleh masyarakat dengan bantuan perewangan kerap kali hanya bernilai secara ekonomi. Artinya, mereka yang terlibat praktik perewangan tentu memperlihatkan makna sosial yang tersirat, yakni soal status dan prestise mereka dihadapan masyarakat, terutama bagi masyarakat yang taat beragama.
Mengapa perewangan menjadi semacam “bakteri” dalam kultur keislaman?, karena makhluk ghaib lazimnya dinilai sebagai musuh umat. Makhluk ghaib dalam ranah keagamaan tidak dijadikan sebagai kiblat memuja atau bahkan meminta bantuan. Dalam Islam, perkara sensitifitas pertama yang diajarkan adalah tentang Tuhan sebagai pemenuh kebutuhan manusia dan pengendali segala urusan.
Dengan prinsip keislaman demikian, ajaran Islam dipandang bersebrangan dengan hal-hal yang dinilai menyimpang, seperti praktik perewangan. Bahkan, agama Islam menilai bahwa bisnis dengan melibatkan bantuan makhluk ghaib atau supranatural, dianggap sebagai sebuah praktik syirik. Sehingga, Islam mewanti-wanti tidak adanya keberkahan yang diperoleh dari keuntungan pelaku usaha perewangan.
Walaupun keuntungan material yang diperoleh dinilai fantastis, tetapi keuntungan tersebut kerap kali selalu kurang untuk memenuhi segala kebutuhan, akibatnya mereka selalu mencari kekayaan hingga melanggar batas-batas wajar.Selain itu, karena perewangan ini merupakan praktik yang memiliki sistem keterikatan perjanjian dengan sekelumit persyaratan tentu memunculkan dilema batin bagi pelakunya.
Sehingga, mereka yang telah terikat dengan perjanjian harus terus sumpah setia dengan ikatan perjanjian dan memenuhi setiap syarat, agar kekayaan yang mereka peroleh tidak sirna begitu saja. Bahkan jika melanggar perjanjian dan persyaratan yang ada, mereka akan mengancam musibah-musibah yang seolah bergantian menuju ke kehidupan mereka.
Pelaku praktik perewangan sangat mungkin merasa terjebak dalam siklus harapan berlebih dan ketergantungan kepada selain dari sang pencipta, sehingga alih-alih mendapat ketentraman karena keuntungan yang melimpah, pelaku usaha yang terlibat praktik perewangan ini justru dihadapkan dengan ketidakpuasan secara spiritual, akibat asupan gizi rohani yang kurang.Perewangan ini merupakan bentuk refleksi kompleks antara kepercayaan budaya dan tantangan ekonomi yang telah diwariskan secara turun-temurun.
Selain itu, ritual yang terlibat dalam perewangan yakni sesajen juga dilakukan oleh umat agama lain dengan tujuan yang berbeda. Tetapi, praktik perewangan ini tetap bertentangan dengan syari’at Islam yang melarang segala bentuk ketergantungan kepada makhluk selain Allah. Oleh karena itu, praktik perewangan akan berujung pada kerugian spiritual yakni dosa dan ketidaktenangan dalam hati mereka. Bahkan kerugian dari pelaku usaha itu sendiri, seperti dalam hadis Nabi riwayat Ahmad “Tidak akan pernah berkah rezeki yang diperoleh dari jalan yang haram”.
Kabar baiknya, praktik perewangan di masyarakat modern sudah banyak ditinggalkan, semakin banyak orang yang mempertanyakan keabsahan perewangan sebagai cara yang aman dan sah untuk meraup keuntungan. Sebagian besar pelaku usaha saat ini justru lebih bersikap skeptis terhadap praktik semacam itu, mereka lebih memilih strategi bisnis yang transparan serta etis dan menjadikan nilai spiritualitas agama sebagai proporsi bisnis yang mereka jalani.
Tetapi, disisi lain, fenomena perewangan masih dapat ditemukan meskipun dengan jumlah yang sedikit, sentralnya di masyarakat tradisional. Perubahan sosial yang ada sekarang belum merata, dimana praktik ini menjadi simbol identitas cara hidup yang tidak mudah ditinggalkan dan masih terus ada hingga sekarang. Lalu, dengan berbagai inovasi kemajuan bisnis yang ada dan penyebutan “syirik” bagi pelakunya, apakah masih tertarik berbisnis dengan praktik perewangan?