Memoar Ritmis Rona Melankolis

LENSAISH.COM – Manusia berlalu-lalang, hiruk pikuknya tiada henti meramaikan gendang. Bukan hanya pasar yang riuhnya memecah suasana sore itu, tetapi kondisi jalan, seusai keharmonisan rintik hujan turut membasahi bumi. Hujan menyalurkan irama ritmis tak beraturan dari atap genteng dan seng yang lelah.

Semerbak aroma tanah bercampur aroma rempah dari warteg tepi jalan menguar. Derit langkah terburu-buru, saling beradu, bergegas berteduh.Hujan, sajak puisi dari langit untuk bumi. Rintiknya, melukiskan kenangan pada tanah yang resah, membisikkan rindu yang tak pernah palsu.

Jatuh perlahan, memeluk dedaunan yang kehausan, memantulkan cahaya kelabu yang syahdu. Waktu seolah melambat, membiarkan setiap jiwa tenggelam dalam irama alami yang sederhana tanpa hambat.

Menyusuri relung hati, membawa pesan sunyi: ada keindahan dalam tangisan, dan ada harapan di balik keputusaan. Aku, berdiri tak bergeming. Mengabaikan sautan sorak risau, mengizinkan hujan menyatu dengan tubuhku. Suara hujan tengah mewakili ceritaku, seorang yang tak pernah bersyukur.

Ya, aku lelah. Tapi, bukankah lelah bagian dari konsekuensi hidup?Argghhh! Rasa-rasanya aku tak mampu!Tatapan mataku kosong, melempar jauh seluruh peluh.

Berawal dari lima tahun yang lalu, goresan pena yang terkumpul itu, berhasil menjadi buku. Na’asnya, pandemi menjarah semua ekspektasiku. Anak pertamaku, hilang dalam antrian Penerbitnya pun, hancur diterkam Corona. Gulung tikar melanda. Aku, hanya menyisakan luka. Segores traumatis yang tak sembuh dengan praktis.

Baca Juga  Hujan di Tengah Diskusi

“Kapan bukumu bisa kubeli?” Sungguh ujaran yang ku benci. Tidak semua orang tau lukaku, pun bukan kewajiban mereka mengetahuinya.

Bahkan, kata itu bukan tabu diperi manusia. Aku saja yang salah, terlalu hanyut dalam duka. Hingga berhenti mengias kata.”Dek, belikan mbak sandal, ya! Sandalnya hilang lagi. Dighosob santri baru” kata kakakku, melalui gawai.

Hanya menghela nafas. Ya, pasti kubelikan, kusisihkan dari gaji, atau bahkan memanfaatkan jasa paylater. Anak bungsu ini, sedang alih peran menjadi sulung. Begitulah kisahku.

Setelah kegagalanku melanjutkan ke bangku perkuliahan, aku mengais apa yang tak kumiliki. Menikmati tekanan atasan, mendengar cibiran teman, bahkan pasrah dengan tuduhan.

Sungguh membosankan bukan?”Arghhh bagaimana aku bisa kuliah!” Gumamku. Ibuku selalu menuntut menyisakan gaji, tapi kakakku ini-itu tak ada henti. Lelah bukan main menjadi gen sandwich, atau bahkan tanpa akhir?

Malam membisu, memarkir pikiran yang menari tanpa henti; ramai dalam sunyi. Jarum jam merangkak perlahan, memperpanjang penderitaan.

Gulita malam terasa lebih tebal, menutupi kebahagiaan dengan selimut dingin tanpa kehangatan. Di luar, bintang-bintang seolah menutup mata, enggan menyaksikan pergulatan batin yang kurasa.

Begitupun malam-malam berikutnya, manik mataku enggan tenang. Air mataku enggan bertahta, selalu ingin berkelana.”Bisa apa aku? Siapa aku?”Aku memeluk diriku, bukan hanya anxiety saja.

Baca Juga  Sekolah: Harapan di Ujung Negeri

Bahkan aku kehilangan diriku sendiri. Tak tau harus bagaimana, dan….Ya! Aku bersikeras merasakan bangku sekolah tinggi. Meninggalkan manusia-manusia yang tak pernah memanusiakan. Mengubah perekonomian yang tak jelas rupanya. Merubah segalanya, dimulai dari aku, ‘kan?

Keputusan itu tertancapkan kokoh bak akar yang memeluk tanah. Kegegabahan berbisik harapan, saatnya menyudahi ratapan. Bergelut dengan pendaftaran dan info beasiswa, bagian dari angkah awal memulai perjalanan panjang ini.

Matahari pagi menyambutku dengan senyum samar, langkahku terasa lebih ringan. Memulai lebih bersemangat, meski tekanan atasan semakin menyayat. Menikmati masa akhir kerja, karena optimis, Tuhan mengabulkan do’a dan usahaku.

Hati kecilku berbisik, “Semangat! aku yakin akan tiba masanya kaki kecilku menapak di tempat yang kuimpikan.” Dengan tekad yang membara, aku siap menghadapi apa pun yang menanti di depan, sebab mimpi ini terlalu berharga untuk dilepaskan.

Namun, dunia masih menjamu diriku dengan ujian. Kakakku kembali meminta sepaket skincare ala korea dengan harga fantastis. Suaranya menusuk, seolah aku tak pernah mendengarkan keinginannya. Tangis malam itu, kembali pecah dalam sunyi. Menetes tanpa aba-aba, jatuh tanpa terasa. Lelah dengan segala pilihan, “egoiskah aku merajut mimpiku? tidak adakah caraku untuk menolaknya?”.

Baca Juga  Menyambut Cahaya Ramadhan

“Ah, iya! Aku adikmu, bukan kakak atau bahkan ATM—mu!” Seruanku hanya dibalas gertakan lirih yang tak kuhiraukan, telepon dengan gegas kuputus. Dadaku sesak, campuran amarah dan lelah yang tak pernah tersampaikan dengan utuh. Mengapa aku harus selalu menjadi penopang, sementara mereka bahkan tak pernah bertanya bagaimana caraku bertahan?

Sudah hampir setengah tahun cerita itu berlalu, bahkan banyak hal-hal yang tak ada dibenakku kala itu, membawaku ke proses seindah ini. Aku berhasil melanjutkan studi dengan lika-liku yang setia menemani. Fisik dan mentalku sudah ditempa bak baja, kuat tak terkira. Tuhan selalu memberi kejutan-kejutan indah, dibalik kekuatan yang tabah.

Langit senja menjadi panggung senyum bahagia. Aku kembali menulis, bukan hanya karena tuntutan studi, tetapi aksaraku berhasil menemukan ritmenya. Semburat oranye yang perlahan memudar ke abu-abu, menemani bunyi ketikan yang tak beraturan, mencipta kalimat penuh warna yang menyimpan rasa. Menjadi simfoni dalam melangkolis cerita.

Benar, tidak ada hasil yang mengkhianati usaha, adanya manusia yang tak tau cara menerimanya. Sebuah ritmis dari rona melangkolis menjadi simfoni harmonis. Kini, bukan lagi sekedar alunan nada muram, tetapi simfoni harmonis yang mengalir dengan nada-nada perjuangan, harapan, dan keyakinan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *