Sekolah Ramah Anak, Mengapa Bullying Masih Marak?

LENSAISH.COM – Sekolah seharusnya menjadi tempat pendidikan dan pembentukan karakter, lingkungan yang aman dan ramah bagi anak-anak. Konsep Sekolah Ramah Anak menjanjikan suasana yang mendukung, bebas dari kekerasan, serta mengutamakan hak-hak siswa. Namun, kenyataan sering kali berbeda dari harapan.

Menurut data Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (), hingga September 2024 tercatat 293 kasus kekerasan di lingkungan sekolah. Fenomena ini masih menjadi bayang-bayang kelam yang sulit diberantas. Mengapa konsep Sekolah Ramah Anak yang terdengar ideal di atas kertas belum mampu terwujud sepenuhnya? Apakah akar persoalannya terletak pada sistem, budaya sekolah, atau kurangnya kesadaran kolektif? Tulisan ini berupaya mengupas realitas di balik janji-janji tersebut, mengeksplorasi alasan mengapa bullying tetap marak meskipun berbagai upaya telah dilakukan, serta mencari solusi agar visi Sekolah Ramah Anak benar-benar terealisasi.

Sekolah Ramah Anak: Konsep vs. Realita

Sekolah Ramah Anak adalah lembaga pendidikan yang berkomitmen menjamin dan memenuhi hak-hak anak melalui pendekatan yang terencana dan bertanggung jawab di setiap aspek kehidupan. Konsep ini berlandaskan prinsip non-diskriminasi, kepentingan terbaik bagi anak, hak untuk hidup, serta penghormatan terhadap martabat anak.

Sekolah yang menerapkan konsep ini seharusnya menciptakan suasana aman, nyaman, dan mendukung perkembangan siswa tanpa rasa takut. Namun, dalam praktiknya, implementasi program ini kerap terjebak dalam persoalan teknis dan budaya. Akibatnya, bullying tetap marak terjadi di lingkungan sekolah.

Bullying: Definisi dan Dampaknya

Menurut buku “Stop Perundungan/Bullying Yuk!”:

Baca Juga  Ilmu Bukan Hanya Doktrin, Tetapi Ilmu adalah Kajian dan Pelajaran Hidup

Bullying adalah perilaku tidak menyenangkan, baik secara verbal, fisik, maupun sosial, di dunia nyata maupun dunia maya. Perilaku ini dilakukan oleh perorangan atau kelompok dan dapat menyebabkan seseorang merasa tidak nyaman, sakit hati, serta tertekan.”

Perundungan sering kali bermula dari candaan yang dianggap wajar, tetapi kemudian berkembang menjadi hinaan atau kekerasan yang menyakitkan. Korban bisa mengalami tekanan psikologis berkepanjangan, yang memengaruhi kepercayaan diri, prestasi akademik, hingga kesehatan mental mereka.

Bullying dapat terjadi dalam berbagai bentuk, seperti:

  • Bullying fisik: Memukul, menendang, atau merusak barang pribadi korban.
  • Bullying verbal: Menghina, mengejek, atau memberi julukan yang merendahkan.
  • Cyberbullying: Mengintimidasi melalui media sosial, pesan teks, atau platform digital lainnya.

Salah satu contoh kasus yang terjadi di Indonesia adalah perundungan di Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah, pada 7 Juni 2024. Seorang siswi SMP berusia 13 tahun mengalami bullying yang melibatkan enam pelaku. Empat di antaranya berasal dari sekolah yang sama, sedangkan dua lainnya dari sekolah lain. Korban, yang memiliki kondisi mental berbeda dan cenderung pendiam, diperlakukan kasar hingga menangis. Kasus ini akhirnya dilaporkan ke Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, yang segera mengambil tindakan dengan memberikan pendampingan kepada korban serta mengimbau sekolah untuk meningkatkan pengawasan dan pencegahan bullying.

Akar Masalah: Mengapa Bullying Sulit Diberantas?

Menurut Sri Immawati, yang dikutip dari Kompas.com, bullying terjadi karena tiga faktor utama:

  1. Keluarga tidak harmonis: Anak yang tumbuh dalam lingkungan keluarga penuh konflik lebih rentan meniru perilaku agresif.
  2. Pengaruh senior di sekolah: Budaya senioritas sering kali menjadi ajang pembuktian kekuasaan melalui tindakan perundungan.
  3. Kesadaran diri pelaku: Banyak pelaku yang tidak menyadari bahwa tindakan mereka adalah bentuk kekerasan psikologis atau fisik.
Baca Juga  Menteri Pendidikan Siap Umumkan Kebijakan Sistem Zonasi dan PPDB pada Februari 2025

Bullying tidak bisa diatasi dalam waktu singkat. Diperlukan peran aktif orang tua, guru, dan masyarakat. Orang tua harus memberikan perhatian lebih kepada anak, mendengarkan keluhan mereka, serta memberikan solusi jika menghadapi masalah di sekolah.

Meskipun program Sekolah Ramah Anak telah diperkenalkan sejak 2015 oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak bekerja sama dengan Kementerian Pendidikan, tantangan dalam penerapannya masih besar. Beberapa kendala utama antara lain:

  • Kurangnya pelatihan bagi guru dalam mengenali dan menangani kasus bullying.
  • Minimnya fasilitas pendukung, seperti ruang konseling dan sistem pelaporan yang efektif.
  • Resistensi budaya, di mana beberapa sekolah masih menganggap perundungan sebagai hal wajar yang “membentuk mental”.
  • Kurangnya penegakan aturan, sehingga kasus perundungan terus terjadi tanpa konsekuensi yang jelas bagi pelaku.

Solusi: Mewujudkan Sekolah yang Benar-Benar Ramah Anak

Untuk menciptakan lingkungan sekolah yang aman dan bebas bullying, diperlukan pendekatan komprehensif yang melibatkan seluruh komponen sekolah. Beberapa langkah yang bisa dilakukan, antara lain:

  1. Edukasi AntiBullying

Sekolah perlu mengadakan program edukasi anti-bullying secara berkala bagi siswa, guru, dan orang tua. Kurikulum sekolah dapat memasukkan nilai-nilai toleransi, empati, dan respek terhadap sesama.

Baca Juga  Pentingnya Peran Guru yang Tidak Akan Terkalahkan oleh Kecanggihan AI
  1. Pembentukan Tim Khusus

Sekolah perlu membentuk tim penanganan bullying yang bertugas menerima laporan, menindaklanjuti kasus, serta memberikan dukungan psikologis bagi korban. Siswa juga harus diberikan akses ke layanan konseling yang aman dan terpercaya.

  1. Penegakan Aturan yang Tegas

Sekolah harus menerapkan sanksi tegas bagi pelaku bullying serta memberikan bimbingan bagi mereka agar memahami dampak perbuatannya. Program zero tolerance terhadap bullying harus diberlakukan secara konsisten dan transparan.

  1. Peran Orang Tua dan Masyarakat

Orang tua harus lebih terlibat dalam kehidupan anak, memastikan mereka memiliki lingkungan yang aman dan nyaman, baik di sekolah maupun di rumah.

Masyarakat dapat mendukung gerakan ini dengan mengawasi lingkungan sekitar dan memberikan edukasi kepada anak-anak mengenai pentingnya menghormati sesama.

Program Sekolah Ramah Anak memberikan harapan besar bagi dunia pendidikan di Indonesia. Namun, realisasi konsep ini membutuhkan komitmen kuat dari semua pihak—pemerintah, sekolah, guru, orang tua, hingga masyarakat.

Bullying yang masih marak adalah cerminan bahwa kita belum sepenuhnya berhasil menciptakan lingkungan pendidikan yang aman dan kondusif. Sekolah seharusnya menjadi tempat di mana anak-anak dapat belajar tanpa rasa takut, tumbuh dengan percaya diri, dan berkembang menjadi individu yang peduli terhadap sesama.

Untuk mewujudkan visi ini, kita perlu bersama-sama menghapus budaya bullying dan menggantinya dengan nilai-nilai kasih sayang, empati, dan toleransi. Hanya dengan upaya kolektif, sekolah benar-benar dapat menjadi rumah kedua yang aman dan nyaman bagi setiap anak.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *