LENSAISH.COM – Meski teknologi terus berkembang pesat, representasi perempuan di bidang ini masih menjadi tantangan besar. Data terbaru menunjukkan bahwa perempuan hanya mewakili 30% dari profesional teknologi di seluruh dunia.
Lebih parah lagi, di sektor kecerdasan buatan (AI), angka ini turun hingga 22%. Kurangnya partisipasi perempuan dalam teknologi bisa berdampak pada terbentuknya ekonomi digital yang tidak inklusif dan berisiko melestarikan stereotip lama.
Selain itu, kesenjangan gender ini terlihat dari rendahnya jumlah lulusan perempuan di bidang teknik dan ilmu komputer, dengan perempuan hanya mencakup sekitar 30% lulusan teknik dan 40% lulusan ilmu komputer.
Hal ini memunculkan kekhawatiran bahwa masa depan teknologi, termasuk AI, dapat dipengaruhi oleh kurangnya perspektif perempuan.
Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan upaya serius dalam menyediakan kesempatan yang setara bagi perempuan dan anak perempuan untuk mengakses pendidikan dan pelatihan di bidang STEM (sains, teknologi, teknik, dan matematika).
Memberikan akses yang sama dalam pendidikan STEM sangat penting agar perempuan dapat memiliki pengetahuan dan kemampuan yang setara untuk berperan aktif dalam membentuk teknologi yang memengaruhi kehidupan sehari-hari.
Salah satu inisiatif yang patut dicontoh adalah Koalisi Aksi tentang Teknologi dan Inovasi untuk Kesetaraan Gender. Koalisi yang didirikan pada Forum Kesetaraan Generasi oleh UN Women pada tahun 2021 ini menargetkan untuk menggandakan jumlah perempuan di bidang teknologi dan inovasi pada tahun 2026.
Hingga tahun 2023, hampir 90% dari komitmen koalisi ini berhasil dijalankan, dengan ratusan program pelatihan teknologi di berbagai negara yang difokuskan pada perempuan.
Namun, akses ke pendidikan dan pelatihan saja tidak cukup. Diperlukan juga jalur yang jelas bagi perempuan untuk masuk dan berkembang di industri teknologi. Perusahaan teknologi harus berkomitmen untuk memberikan peluang magang, bimbingan, dan upah yang setara bagi perempuan.
Selain itu, lingkungan kerja yang aman dan mendukung, seperti kebijakan anti pelecehan seksual serta fleksibilitas kerja, menjadi faktor penting yang dapat mendorong perempuan tetap berkarya di bidang teknologi.
Terakhir, untuk memastikan AI yang adil dan inklusif, perusahaan teknologi harus menghilangkan bias gender dalam data yang digunakan untuk membangun sistem AI. Tanpa langkah-langkah ini, teknologi masa depan berisiko memperkuat ketidaksetaraan yang telah lama ada.
Dengan kerja sama dari pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat, kesetaraan gender dalam teknologi dapat dicapai dan memastikan bahwa teknologi AI dan ekonomi digital yang dihasilkan lebih inklusif dan adil bagi semua.