LENSAISH.COM – Pada dasarnya, sikap seorang muslim harus menggambarkan kedamaian saat berbicara. Dengan itu, Islam akan mendapatkan penilaian yang baik dari orang yang diajak bicara. sikap baik seorang muslim terhadap non muslim juga akan meninggalkan kesan-kesan positif bagi non-Muslim sendiri terhadap kedamaian yang diajarkan oleh agama Islam.
Dan secara ketidaksengajaan akan menyentuh hati mereka, daripada hanya sekedar dakwah dengan kata-kata, namun tindakan sehari-harinya tidak sesuai dengan apa yang disampaikan.
Nabi Muhammad Teladan Kedamaian
Nabi Muhammad SAW sebagai sosok teladan, beliau banyak memberikan contoh untuk tidak bertindak kekerasan atau pemaksaan, dalam proses penyebaran Islam. Meskipun saat itu Nabi Muhammad tidak disukai dan dimusuhi oleh kaum Quraisy non-Muslim. Ketika kaum Quraisy non-Muslim menyerang, menghentikan dan menghabisi semua pengikut ajaran Nabi Muhammad dan percaya pada kebenaran Islam.
Dari segi kemanusiaan, wajar jika hal ini berujung pada perang antara umat Islam dan non-Muslim. Namun, memang benar seperti inilah ajaran Islam oleh Nabi SAW. Nabi Muhammad SAW memiliki sikap kebijaksanaan, yaitu dengan tidak mendahulukan rasa amarah di atas akal dan hati. Nabi Muhammad SAW selalu memperhatikan sisi kemanusiaan dengan tidak membalas para pembencinya dengan perang.
Beliau tidak menyimpulkan terhadap orang non muslim Quraisy yang menentang-nya itu merupakan musuh yang nyata bagi dirinya dan rakyatnya. Akibat dari perlakuan baik Beliau terhadap musuh-musuhnya ini, menimbulkan rasa kagum dan simpati terhadap ajarannya. Sehingga orang-orang non-Muslim menerima keberadaan Islam.
Dalil Berdamai dengan Non Muslim
Adapun sikap Nabi Muhammad SAW dalam menghargai sesama manusia tanpa memandang suku, ras, dan agama. Sebagaimana dalam riwayat Imam An-Nasa’i no. 1921
أَخْبَرَنَا إِسْمَعِيلُ بْنُ مَسْعُودٍ قَالَ حَدَّثَنَا خَالِدٌ قَالَ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ عَمْرِو بْنِ مُرَّةَ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِي لَيْلَى قَالَ كَانَ سَهْلُ ابْنُ حُنَيْفٍ وَقَيْسُ بْنُ سَعْدِ بْنِ عُبَادَةَ بِالْقَادِسِيَّةِ فَمُرَّ عَلَيْهِمَا بِجَنَازَةٍ فَقَامَا فَقِيلَ لَهُمَا إِنَّهَا مِنْ أَهْلِ الْأَرْضِ فَقَالَا مُرَّ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِجَنَازَةٍ فَقَامَ فَقِيلَ لَهُ إِنَّهُ يَهُودِيٌّ فَقَالَ أَلَيْسَتْ نَفْسًا
“Menceritakan kepada kami Ismail bin Mas’ud dia berkata, dari Khalid, dari Syu’bah dari ‘Amru bin Murrah dari ‘Abdurrahman bin Abu Laila dia berkata, Sahl bin Hunaif dan Qais bin Sa’d bin ‘Ubadah yang sedang berada di Qadisiyyah, lalu sebuah jenazah lewat dihadapan mereka, kemudian keduanya berdiri, lalu dikatakan kepada mereka berdua ia adalah penduduk asli. keduanya berkata, telah melewati sebuah jenazah di hadapan Rasulullah SAW, lalu beliau berdiri (sebagai tanda penghormatan) dan dikatakan kepada Beliau bahwa jenazah itu adalah seorang dari kalangan Yahudi, kemudian Beliau bersabda, “Bukankah jenazah itu juga manusia?”
Penjelasan
dalam sejarah Rasulullah SAW juga dijelaskan bahwa Beliau pernah menjalin hubungan diplomatik dengan Bani Najran, bahkan Beliau juga melindunginya. Suatu ketika, Rasulullah meminta Ali bin Abi Thalib untuk menulis surat perjanjian damai antara Rasulullah dengan umat Nasrani di Najran. Dalam surat tersebut, Beliau hendak menjamin keselamatan masyarakat Najran dan melarangnnya untuk menyakiti anak-anak, wanita, dan pemuka agama di Najran.
Bahkan, Rasulullah pun dengan tegas melarang penghancuran Gereja. Surat perjanjian damai Nabi Muhammad SAW kepada masyarakat Najran ini berisi mengenai jaminan dari Allah dan Nabi Muhammad terhadap masyarakat Najran dan sekitarnya, atas agama, tanah, harta benda dan kafilahnya yang hadir ataupun tidak. Tidak ada yang boleh mengusir mereka dari wilayahnya, dan tanah mereka tidak boleh diinjak oleh tentara kaum muslimin.
Tidak hanya kepada Bani Najran saja, bahkan Rasulullah juga mengirimkan surat kepada beberapa bani lainnya seperti, Bani Judzaman, Habasyah, Romawi, dan Persi.Selain itu, Rasulullah juga tidak segan-segan bergaul dengan non-Muslim, seperti yang terdapat dalam kitab Ghairu Al-Muslim Fii Al-Mujtama’ Al-Islami karya Yusuf Qardawi.
Rasulullah SAW sering meluangkan waktu untuk mengunjungi dan berteman dengan tetangganya yang non-Muslim. Sekalipun ada tetangga non-Muslim yang sakit, Nabi tidak segan-segan menjenguknya dan menyampaikan belasungkawa apabila meninggal dunia.
Kisah Teladan Nabi Muhammad
Seperti sebuah cerita, ketika Nabi SAW dan Usamah bin Zaid hendak menjenguk Sa’d bin Ubada yang sedang sakit. Di tengah perjalanan, Beliau bertemu dengan sekelompok orang dan memutuskan untuk berhenti di samping mereka. Ketika Nabi menghentikan perjalanannya, debu menutupi kelompok tersebut dan Ibnu Salul langsung bereaksi dengan berkata, “Kalian telah meninggalkan kami dalam debu!”
Nabi tidak menanggapi nada agresif tersebut, namun memanfaatkan kesempatan tersebut untuk memberikan nasehat kepada kelompok itu dan menyampaikan risalahnya, setelah itu Ibnu Salul kembali turun tangan dan berkata: “Jika hal-hal ini benar maka sepertinya hal-hal tersebut baik!
Namun, jangan datang kepada kami untuk membicarakan hal itu. Anda harus memberi tahu orang-orang ketika mereka datang menemui Anda! Silakan duduk di rumah dan jangan ganggu kami dengan masalah seperti ini!”Nabi Muhammad tidak menanggapi komentar kasar tersebut dan memilih untuk bungkam. Sahabat lainnya, Abdullah ibn Rawaha, yang memperhatikan diamnya Nabi, menanggapi atas namanya, yang menyebabkan pertengkaran antara Dia dan Ibnu Salul.
Sikap Nabi Muhammad
Rasulullah turun tangan, mengakhiri pertengkaran dan meyakinkan semua orang. Meski begitu, Ibnu Salul tetap mengejek dan mengungkapkan kekesalannya dengan mengutip puisi-puisi yang menghina Nabi, dan tak kenal lelah dalam kekejamannya.Setelah itu, Nabi segera menaiki kudanya dan pergi. Ketika itu Beliau bukan saja dihina secara pribadi, namun ia juga dihina sebagai Utusan Allah dan pemimpin Madinah.
Nabi Muhammad bisa saja dengan mudah menanggapi Ibnu Salul, namun Beliau memilih untuk mengakhiri pertengkaran karena perilaku kasarnya. Sesampainya di rumah Sa’d, Sa’d melihat kesedihan di wajah Nabi dan bertanya-tanya ada apa. Setelah Nabi menjelaskan kepadanya apa yang terjadi, Sa’d memintanya untuk memaafkan Ibnu Salul dengan menjelaskan dahulu kala sebelum kedatangan Rasulullah, Ibnu Salul ini telah mempersiapkan diri untuk menjadi raja Yatsrib (Madinah) bahkan ia memesan mahkota dari Yaman.
Dan setelah Rasulullah datang, semua mimpinya hancur. Ibnu Salul merasa pahitnya di Madinah, beliau ingin menyulitkan hidup Nabi di setiap kesempatan, namun Nabi Muhammad SAW menyikapinya dengan sabar dan tenang untuk menjaga perdamaian.Meskipun Ibnu Salul kerap menimbulkan konflik dan menyakiti Nabi Muhammad SAW secara pribadi maupun keluarga, Nabi tetap memaafkannya.
Bahkan, Beliau bersedia memimpin salat jenazahnya setelah kematian Ibnu Salul, meski hal itu tidak memberikan keuntungan duniawi. Sikap ini menunjukkan sifat Nabi yang pemaaf dan penyayang, yang senantiasa menjaga kedamaian masyarakat.