Terdistraksi Notifikasi Cinta
LENSAISH.COM – Dunia maya tidak jauh dari dunia nyata. Komunikasi antar individu, maupun beberapa individu sekaligus bisa terjadi baik di dunia maya maupun nyata. Tidak heran, jika sekarang ini handphone sudah menjadi kebutuhan di masyarakat, baik itu di bidang pendidikan, perusahaan, industri, ahli kesehatan, dan lain sebagainya.
Perkembangan teknologi yang kita rasakan sekarang sangat berpengaruh besar dalam kehidupan kita, baik di lingkungan keluarga, dan masyarakat. Sebut saja “Warga Digital” informasi yang kita dapatkan dari sosial media sangat banyak, hingga kita tidak menyadari mana informasi fakta dan mana informasi hoax.
Notifikasi pada layar ponsel atau pc kita sering sekali menjadi acuan kita untuk menerima informasi dengan cepat dalam menerima informasi. Kita semua pasti mudah terganggu Ketika sedang melakukan sesuatu. Notifikasi handphone saat lagi ngerjain deadline kerjaan, scrolling timeline media sosial padahal besok harus ngumpulin tugas atau Cuman bengong pas saat lagi kerja.
Memang mudah sekali terpancing oleh notifikasi smartphone yang tiap menitnya muncul berkali-kali, menarik pandangan untuk membukanya atau hanya sekedar melihat-lihat infotmasi baru. Tapi, gampang terdistraksi saat kerja atau belajar bukan sepenuhnya salah gadget (smartphone) atau media sosial loh!
Kita mudah terdistraksi karena otak kita mengontrol aksi kita. Dikutip dari kumparan.com, dua psikolog, Matthew Killingsworth dan Daniel Gilbert dari Harvard menentukana bahwa otak manusia secara unik terprogram untuk mengikuti distraksi. Otak manusialah yang menjadi dalang dari susah fokus saat bekerja (kejarmimpi.id).
Namaku Rhaa, mahasiswi semester menengah yang hampir DO, dari salah satu kampus ternama di Sumatera Utara. Fakultasku selalu membahas tentang dunia Media, informasi, system sampai membahas dunia lain yang di luar nalar otak manusia.
Kehidupan sekitarku di penuhi oleh orang-orang yang ambisius, logis, humoris dan perfeksionis. Terkadang risih dengan mereka yang terpacu oleh prinsip yang belum jelas adanya. Kemungkinan 97%, itu dapat terwujud secara fakta. Menurutku begitu, yang tidak diriku sukai dari mereka adalah sifat apatisme, dan saling merasa paling unggul dalam mencapai segala sesuatu.
Bukan berarti mereka buruk, hanya saja diriku tidak menyukai orang-orang yang merasa dirinya jago. Bukan orang jago yang dibutuhkan, tapi orang yang mau bekerja sama dalam tim dan mengambil keputusan tepat yang di butuhkan.
Diriku berjalan melewati lorong yang sering dilalui oleh pejalan kaki, mataku tersorot oleh satu titik tempat gazebo mereka berdiskusi kecil di dalamnya, membahas segala lontaran pertanyaan di benak mereka, diriku terbungkam kaku. Apa yang mereka bicarakan hingga wajah mereka berkerut? diriku melangkah dengan perlahan dengan sedikit kaku.
“hai, Assalamu’alaikum…” (sapaku dengan tenang).
“Wa’alaikummussalam, eh, kamu sini duduk.” (wajah yang sangat serius).
(mendengarkan pembicaraan mereka hingga selesai) mencoba memahami apa yang mereka bicarakan itu sudah biasa bagiku. Perdebatan dalam forum itu hal yang lumrah, tiba-tiba ponselku bergetar.
“tlung.. tlung..” (nada pesan masuk). pesan WhatsApp masuk, ternyata notifikasi pesan dari kekasihku. Isi pesan itu :
“Neng.”
“Dimana kamu?.”
“Mbb (Maaf Baru Balas) yaa.”
“Huuu.”
Diriku membalasnya secapat mungkin, berharap dapat balasan kembali,
“Saya.”
“Di Kampus, lagi rapat bidang nih bang.”
“Iya, tidak apa-apa.”
“(emoticon senyum)”
“Kamu lagi apa ?.”
Pesanku terkirim dalam menit yang sama, dan Rifki online hanya beberapa menit saja setelah membalas pesanku.
Warga Digital adalah orang yang sadar betul apa yang salah, menunjukkan kecerdasan perilaku teknologi, dan juga membuat pilihan yang tepat ketika menggunakan teknologi. (materisimulasidigitalkelasmaya).
Sebagai warga digital, tentu membutuhkan peran orang lain ketika berbincang-bincang santai atau pun sekedar menyapa.
Bersosialisasi lewat internet memang memerlukan waktu yang pas untuk berkomunikasi, karena kita masih memiliki kesibukan lain di dunia nyata. Apa lagi seperti kami yang tidak pernah bertatap muka secara langsung di dunia nyata, rasanya ini konyol, pasangan internet yang memadu asmara lewat udara.
Oh ya, kekasihku itu namanya Rifki, beliau sama sepertiku, masih berstatus mahasiswa. Rifki berkuliah di Jordania. Kami sudah cukup lama bersama dari akhir tahun 2018 dan dekat di awal tahun 2019 hingga sekarang. Kami saling memperkenalkan keluarga satu sama lain lewat media sosial. Lewat video call dari aplikasi WhatsApp.
Terlintas dalam benak kami ingin saling bertemu, bercanda gurau, berbagi cerita secara langsung. Pernah berencana mempersiapkan untuk bertemu, apalah daya waktu, dan keadaan tidak mengizinkan, menghentikan langkah kami seketika.
Aku sadar, aku khawatir dan sangat takut jika yang selama ini aku lakukan adalah tetap salah di mata-Nya, aku takut terlanjur mengejar cinta makhluk-Nya, sedang tanpa disadari aku melupakan hakikat cinta yang sebenarnya harus ditunjukan kepada siapa. (panji ramdana).
Karena jarak, waktu dan lokasi yang berbeda, sudah menjadi resiko bagi yang menjalani hubungan LDR (long distance relationship), membutuhkan kepercayaan yang tinggi, saling memahami satu sama lain, dan masih banyak hal lainnya yang harus kamu hadapi.
Seiring waktu berjalan hubungan ini masih tetap sama, kami jarang sekali mengobrol lama, seperti sepasang kekasih lainnya, kami fokus pada pendidikan, terutama kegiatan kampus, organisasi luar kamupus atau dalam kampus, pengabdian masyarakat, tugas kuliah dan keluarga. Inilah prioritas yang sesungguhnya. Terlalu sempit jika dunia ini hanya membahas tentang kamu dan diriku saja, karena dunia bukan mikik kita berdua.
September 2020, “tlung.., tlung…” ( nada pesan masuk ). Notifikasi pesan dari Rifki, Rifki memberiku pesan. Kali ini pesan yang Rifki sampaikan tidak seperti biasanya, diriku terpaku, bulu tubuhku merinding dan tubuhku melemas sejadi-jadinya, air mataku tidak tertahankan lagi, jatuh di pipiku begitu deras, kupeluk bantal yang berada di sisi tempat tidurku sambil mengirimkan doa untuk ibundanya.
Kehampaan sangat kurasa didalam hati ini, bersemayam disinggah sana tanpa ada seorangpun. Seperti itu kenyataan ini, cobaan ini terus silih berganti tidak ada habisnya, kisah perjalan hidup mencabik duniaku saat kujauh darimu, kuhadirkan senyuman cinta disetiap harinya, berharap ada peluang untuk hari yang bahagia di esok hari, egoku selalu memberontak akan hal itu, menghantui setiap malamku dengan kata “tidak ada lagi orang yang dapat kau bahagiakan! Ia telah pergi untuk selamanya! ”.
Apa yang dapat kulakukan, hanya tangisan, teriakan dalam diam, kebencian semakin meluap, Ketika tidak ada lagi tempat curahan hati dan pengaduan. Kepada siapa kecuali ibuku.
Ibuku telah tiada, beliau terserang wabah covid-19 ini, kutidak dapat membersamainya, menjaganya, menyuapi makannya, Ketika beliau sakit melawan virus di tubuhnya, bahkan ketika ibuku kembali ketempat peristirahatan teakhirnya diriku tidak dapat memangkunya, menciumnya untuk terakhir kalinya.
Diriku terkurung jauh diruang sepi, dan senyap. Terakhir kutatap wajahnya Ketika beliau menghantarkanku ke bandara untuk aku menampuh Pendidikan di negeri orang, tidak pernah kubayangkan itu menjadi kebersamaan terkhir kami, dan penutup foto di album keluarga.
Garis tangan tidak dapat kamu ubah, yang tersisa hanya air mata cinta dalam duka, sekenario Allah Azza Wa Jalla itu yang terbaik. Kita hanya bisa menjalaninya, mengikuti petunjuk yang ada (Al Quran). Bukankah tuhanmu menyuruhmu untuk berjuang dalam hidup dan bertanggung jawab atas apa yang telah kamu lakukan dimuka bumi ini. Harta.Tahta. Hanya titipan (Al-Baqarah:286).
لَا يُكَلِّفُ اللّٰهُ نَفۡسًا اِلَّا وُسۡعَهَا ؕ لَهَا مَا كَسَبَتۡ وَعَلَيۡهَا مَا اكۡتَسَبَتۡؕ رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذۡنَاۤ اِنۡ نَّسِيۡنَاۤ اَوۡ اَخۡطَاۡنَا ۚ رَبَّنَا وَلَا تَحۡمِلۡ عَلَيۡنَاۤ اِصۡرًا كَمَا حَمَلۡتَهٗ عَلَى الَّذِيۡنَ مِنۡ قَبۡلِنَا ۚرَبَّنَا وَلَا تُحَمِّلۡنَا مَا لَا طَاقَةَ لَنَا بِهٖ ۚ وَاعۡفُ عَنَّا وَاغۡفِرۡ لَنَا وَارۡحَمۡنَا ۚ اَنۡتَ مَوۡلٰٮنَا فَانۡصُرۡنَا عَلَى الۡقَوۡمِ الۡكٰفِرِيۡنَ
Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Dia mendapat (pahala) dari (kebajikan) yang dikerjakannya dan dia mendapat (siksa) dari (kejahatan) yang diperbuatnya. (Mereka berdoa), “Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami melakukan kesalahan. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebani kami dengan beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tidak sanggup kami memikulnya. Maafkanlah kami, ampunilah kami, dan rahmatilah kami. Engkaulah pelindung kami, maka tolonglah kami menghadapi orang-orang kafir.” (Al-baqarah: 286).
Andaikan pesan ini adalah pesan terakhir dariku untukmu ( jika menurut-Nya harus) maka aku, kamu dan kita semua akan belajar mengikhlaskan. Sebab aku yakin Allah pasti punya banyak cara jika sudah tepat waktunya, bukan berarti menyerah, justru aku akan lebih kuat untuk masa depan saat bersamamu, perasaan bersalah ada karena kita adalah manusia biasa. Cinta ada karena kita adalah sepasang manusia, tidak bisa memaksa kehendak Allah Azza Wa jalla ialah Tuhan seluruh Alam.
- Penulis: Siti Rahma Yani – Kontributor ww.lensaish.com
Komentar