Tren #KaburAjaDulu: Realitas atau Pelarian?

LENSAISH.COM – Akhir-akhir ini tren “Kabur Aja Dulu” atau #KaburAjaDulu menjadi perbincangan yang menarik untuk dibincangkan dalam forum ngopi bersama. Tren #KaburAjaDulu adalah keinginan untuk pindah ke negara lain karena merasa telah menemukan ketidaknyamanan di negara sendiri. Alasannya karena di Indonesia masih banyak orang yang kesulitan dalam mencari pekerjaan, kenaikan pajak, gaji tidak naik, serta pemangkasan anggaran di berbagai sektor.

Apakah Indonesia Tidak Lagi Nyaman untuk Ditinggali?

Kaum muda berkeinginan agar Indonesia menjadi rumah yang nyaman sampai masa tua. Akan tetapi, berbagai persoalan bermunculan sehingga menyebabkan kontra bagi kaum muda. Muncul “Peringatan Darurat” di seluruh media sosial karena banyaknya protes rakyat terhadap pemerintah yang merasa terdzolimi. Perhatian yang seharusnya diprioritaskan untuk pendidikan justru terbaikan. Pendidikan sebagai garda terdepan dalam menyongsong “Indonesia Emas 2045” telah terkikis, karena adanya pemotongan anggaran Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi yang semula Rp 57,6 triliun dipangkas mencapai 39 persen atau tersisa 35,1 triliun. Pemotongan anggaran ini dikhawatirkan akan mengurangi kualitas pendidikan di Indonesia.

Baca Juga  Peran Santri Untuk Indonesia Emas 2045

Mengapa “Efisiensi Anggaran” Dianggap Tidak Efisien?

Program Makan Bergizi Gratis (MBG) tiba-tiba masuk dalam anggaran pendidikan senilai Rp 71 triliun. Program yang dicanangkan oleh Presiden Prabowo ini tidak mempunyai anggaran khusus, sehingga mengakibatkan pemangkasan anggaran. Pemangkasan anggaran tersebur berdalih “efisiensi anggaran”. Padahal dalam kenyataannya pemberian sebutan tersebut tidaklah efisien.

Mengutip dari Kompas (https://www.kompas.id/baca/humaniora/2023/12/06/narasi-skor-pisa-indonesia-jangan-seolah-olah-prestasi), kajian Programme for International Student Assesment (PISA) mendapati kemampuan matematika, sains, dan membaca siswa usia 15 tahun Indonesia mengalami penurunan. Salah satu faktornya adalah rendahnya anggaran pendidikan Indonesia, yakni sekitar 19.700 USD per tahun per siswa berusia 6-15 tahun.

Jika melihat pencapaian skor PISA di Indonesia sejak ikut pertama kali tahun 2000 hingga 2022, skor PISA 2022 termasuk terendah, terutama skor membaca (359), pernah terendah di tahun 2000 dan 2018 (371). Demikian juga skor matematika (366), pernah terendah tahun 2022 (360). Adapun untuk sains (383) relatif stabil.

Baca Juga  Ketika Abaya Bertemu Kebaya: Ekspresi Identitas di Persimpangan Agama dan Budaya

PISA yang dilakukan OECD tersebut sudah memasuki siklus kedelapan guna menentukan apa yang penting untuk diketahui dan dapat dilakukan oleh warga negara. PISA menilai sejauh mana siswa berusia 15 tahun menjelang akhir wajib belajarnya telah memperoleh pengetahuan dan keterampilan yang penting untuk partisipasi penuh dalam masyarakat modern.

Masih Mau #KaburAjaDulu?

Adapun negara-negara yang menjadi pilihan Kaum Muda yaitu Jepang, Korea Selatan, Taiwan, juga Australia. Tak bisa dipungkiri lagi, negara-negara tersebut mempunyai daya tarik tersendiri dari segi gaji pokok bulanan yaitu mencapai 30 juta sampai 50 juta per bulan belum termasuk tax/pajak. Namun, hasrat untuk #KaburAjaDulu tidak bisa semata-mata dapat dilakukan segera dengan mudah. Hal ini dikarenakan sebelum kaum muda keluar dari Indonesia dan menjadi warga negara lain harus mempunyai life skill, keahlian bahasa asing, jaringan, dan referensi yang banyak terhadap negara yang hendak dituju.

Baca Juga  Ibu sebagai Madrasatul Ula: Pendidik Pertama dan Utama dalam Kehidupan Anak

Alih-alih sekadar menggembar-gemborkan ketidakpuasan melalui media sosial dengan tagar #KaburAjaDulu, generasi muda yang memiliki privilege dan akses untuk bersuara seharusnya lebih aktif dalam mencari solusi. Kritik terhadap kebijakan yang tidak berpihak kepada rakyat adalah hal yang sah, tetapi perjuangan untuk memperbaiki negeri ini juga tidak boleh diabaikan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *