Tutup Kelas Akademi Penulisan, GRI Sebut Tradisi Menulis Dapat Mengokohkan Bangsa

LENSAISH.COM, SEMARANG – Kelas Akademi Riset dan Penulisan level I Griya Riset Indonesia (GRI) telah memasuki sesi IV atau sesi terakhir pada Sabtu, (30/10/2021).

Pada sesi penutup ini, menghadirkan Mentor Griya Peradaban Wildan Hefni sebagai trainer penulisan artikel.

Kegiatan yang dipandu aktivis Griya Riset Indonesia (GRI), Laila Fajrin Rouf dan menghadirkan trainer yang berpengalaman dan berkompeten di bidang penulisan artikel, Wildan Hefni (Mentor Griya Peradaban).

Direktur Griya Riset Indonesia, Amrizarois Ismail turut hadir dan menyampaikan motivasi serta progres strategis. Dalam sambutannya, ia mengucapkan terima kasih atas antusias dan konsistensi para peserta yang telah mengikuti kelas akademi riset dan penulisan hingga akhir sesi. Ia berharap setelah kelas level I selesai, para peserta mampu menerapkan ilmu yang telah didapat untuk menghasilkan sebuah karya tulisan.

Baca Juga  Begini Tips Menulis Opini di Media Massa Ala Co-Founder HeyLaw, Andi Tri Haryono

Baca juga:

Wildan Hefni memulai kegiatan dengan menyampaikan apresiasinya pada Griya Riset Indonesia (GRI). Kemudian ia mulai memaparkan materi, membahas urgensi literasi dan imunitas bangsa. Menurutnya, tradisi riset dan menulis bisa mengokohkan bangsa.

Ia menambahkan penjelasannya mengenai pentingnya literasi dengan memberikan pelajaran yang bisa diambil dari buku yang ditulis oleh Tom Nichols, The Death of Expertise. Dua hal tersebut ialah matinya para pakar, yaitu orang-orang yang memanfaatkan ilmu pengetahuan yang sehari-hari menekuni kapasitasnya sebagai scientist sebab munculnya teknologi yang masih masif yang dapat memporak-porandakan masa depan.

Baca Juga  Melalui Eksperimen, KKN-IK IAIN Kudus Ajarkan Literasi Keagamaan

“Nah dalam konteks Indonesia, The Death of Expertise ini kita butuhkan. Jangan sampai literasi yang ada di media online Indonesia berisi tulisan yang diskriminasi. Maka kemudian, saya ingin mengilustrasikan bahwa tulisan artikel ilmiah itu menjadi penting untuk mewarnai jagat literasi Indonesia agar tidak terjadi apa yang digambarkan oleh Tom Nichols, maka kalian yang bergabung di Griya Riset Indonesia (GRI) melalui karya ilmiah mampu menegaskan narasi keindonesiaan yang utuh,” imbuhnya.

Baca juga:

Pria kelahiran Sumenep ini juga memberikan tiga kunci menyusun karya ilmiah. Pertama, istafti yadak yaitu membiasakan tangan untuk menulis. Kedua, istafti fikrak (memperbanyak bacaan, berpikir, menemukan ide) dan istafti qolbak yaitu fokus pada sisi spiritual, berdoa dengan menggunakan hati.

Baca Juga  Ratusan Peserta Siap Ikuti Kelas Penulisan GRI Level 1

“Saya tidak ingin terjebak menjelaskan secara teoritis, saya ingin membaca nama-nama misalnya mbak Laila Fajrin, Muhammad Khozin berada di media Indonesia. Alumni Griya Riset Indonesia (GRI) harus ada bukti yang diberikan,” ucapnya.

Menurutnya, agar tulisan kita bisa dimuat oleh media tertentu maka harus mengikuti syarat dan ketentuan yang sudah diberlalukan oleh media tersebut. Ia juga menyampaikan bahwa salah satu tulisan yang bisa dimuat yaitu tulisan yang aktual, relevan dan merupakan isu yang berkembang di masyarakat.

Kelas akademi riset dan penulisan Griya Riset Indoneisa (GRI) berjalan dengan lancar dan kondusif. Peserta diharap untuk terus menjalin silaturrahmi yang baik. (LA/AN/HA)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *