Sekolah: Harapan di Ujung Negeri

LENSAISH.COM – Di sebuah desa terpencil bernama Lembah Puncak, jauh di pelosok Indonesia, berdiri sebuah bangunan reyot yang disebut sekolah. Bangunannya berdinding papan kayu, beratap seng yang sebagian besar sudah berlubang, dan berlantaikan tanah. Di sinilah Siti, seorang guru muda yang penuh semangat, mengabdikan dirinya untuk mencerdaskan anak-anak desa.

Siti baru lulus dari universitas di kota besar dan memilih mengajar di tempat yang jarang disentuh oleh modernitas. Ketika pertama kali datang, ia terkejut melihat kondisi sekolah itu. Tidak ada meja atau kursi yang layak. Buku pelajaran sangat minim, bahkan sebagian besar sudah lapuk. Namun, yang lebih menyentuh hati adalah semangat anak-anak yang berjalan kaki sejauh lima kilometer setiap hari hanya untuk belajar.

“Ayo, anak-anak, siapa yang bisa sebutkan nama pulau-pulau besar di Indonesia?” tanya Siti di depan kelas yang hanya memiliki sepuluh murid saja.

Baca Juga  Menembus Batas: Perjuangan Guru di Pelosok Negeri Demi Mencerahkan Generasi Bangsa

Seorang anak laki-laki bernama Arman mengangkat tangan. “Pulau Jawa, Sumatra, Kalimantan, Sulawesi… dan Papua, Bu Guru!” jawabnya penuh semangat.

Siti tersenyum bangga. Meski mereka belajar dengan segala keterbatasan, anak-anak itu punya tekad kuat. Namun, di balik senyumnya, ada perasaan sedih. Ia tahu, masa depan mereka tidak semudah yang ia harapkan. Infrastruktur pendidikan yang buruk dan akses minim terhadap teknologi membuat mereka tertinggal jauh dari anak-anak di kota.

Pada suatu hari, Siti menerima kunjungan dari Pak Budi, seorang pegawai dari Dinas Pendidikan. Dengan nada formal, ia berkata, “Ibu Siti, sekolah ini sebenarnya sudah tidak memenuhi standar kelayakan. Kami sedang mempertimbangkan untuk menutupnya.”

Baca Juga  Guru, Lentera Pengetahuan dan Inspirasi Kehidupan

Perkataan itu menghancurkan hati Siti. “Pak, bagaimana dengan anak-anak ini? Jika sekolah ini ditutup, mereka akan kehilangan satu-satunya kesempatan untuk belajar,” balasnya dengan suara bergetar.

Pak Budi hanya menghela napas. “Kami juga punya keterbatasan, Bu. Tapi, kalau ada usulan atau bantuan dari pihak luar, mungkin kami bisa mempertimbangkan kembali.”

Siti tidak menyerah. Ia mulai menghubungi berbagai organisasi pendidikan, menggalang dana secara online, dan membagikan cerita tentang perjuangan anak-anak Lembah Puncak.

Dalam beberapa bulan, bantuan mulai berdatangan. Ada yang menyumbangkan buku, meja, kursi, bahkan ada yang membangun perpustakaan kecil di sekolah itu.

Hari demi hari, sekolah itu mulai berubah. Atap yang bocor sudah diganti, lantai tanah diperbaiki, dan anak-anak mulai mengenal teknologi lewat laptop bekas yang disumbangkan. Meski perjalanan masih panjang, Siti tidak pernah kehilangan harapan.

Baca Juga  Mahasiswa KKN-IK IAIN Kudus Tanamkan Nilai Moderasi Beragama lewat Permainan Puzzel Etnomatematika

Di akhir tahun, ketika pemerintah datang untuk meninjau ulang, mereka terkejut melihat perubahan besar di sekolah itu. Pak Budi pun berkata dengan nada lebih hangat, “Ibu Siti, saya kagum dengan kerja keras Anda. Kami akan memastikan sekolah ini tetap beroperasi.”

Siti tersenyum lega. Di tengah segala keterbatasan, ia membuktikan bahwa pendidikan adalah hak semua anak, tidak peduli seberapa terpencil tempat tinggal mereka. Anak-anak Lembah Puncak, kini memiliki harapan baru untuk masa depan, dan itu semua dimulai dari ketulusan seorang guru muda yang tidak pernah menyerah.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *